Pemuda Indonesia yang Berani Berjejaring
Kegiatan Berjejaring Saya di South Australia |
Membangun jejaring
lebih dari sekedar mencipta kehidupan yang lebih berwarna, berjejaring dapat
membuahkan banyak kebahagian dalam hidup, lebih jauh lagi, berjejaring
menghantarkan kepada kemudahan-kemudahan yang tidak terkirakan. Catatan pendek
ini sebagai gambaran bagaimana saya selaku pemuda Indonesia berani membangun
jejaring di berbagai lini kehidupan yang kemudian membawa keindahan tersediri
dalam menjalani hidup. Berjejaring setidaknya bisa membuka cakrawala berfikir
yang iklusif, sikap yang toleran terhadap perbedaan dan kepribadian yang tidak
mudah diadu-domba. Sehingga untuk menjadi pemuda Indonesia idaman yang bisa berinteraksi
dengan semua kalangan, membutukan jejaring yang luas. Terlebih di tengah-tengah
mencuatnya intoleransi dan permusuhan berbagai golongan di Indonesia
belakangan, berjejaring menjadi alternatif yang bisa ditempuh agar bisa hidup
rukun dalam kemajemukan. Lewat berjejaring ini pula, saya dapat mempertajam
skill dalam kepemimpinan, public speaking dan kepenulisan yang kelak
mengantarkan saya bisa lolos Beasiswa Djarum Plus, Gerakan Indonesia Mengajar,
dan Beasiswa LPDP.
Ketika bergabung dengan Gerakan Indonesia
Mengajar pada tahun 2012-2015 saya selalu mendengar kata-kata bahwa seorang
pemuda Indonesia harus memiliki grass
root understanding, dan global
competence, yang dalam arti lain,
pemuda yang memiliki pemahaman akar rumput dan kompetensi global. Saya pun
mempercayai dan bertekad mengamalkan konsep tersebut, dimana saya harus
memiliki kontribusi kepada masyarakat Indonesia di daerah-daerah terpencil dan
memahami dengan senyatanya segala kebutuhan dan keluh kesah masyarakat, namun
begitu, saya juga harus memiliki kompetensi pemahaman yang luas dengan cara
membangun relasi pertemanan dan pengetahuan di tinggal global. Harapannya saya
bisa menjadi pribadi paripurna, yaitu dimana saya bukan hanya bisa berperan
dalam skala kecil tapi juga dalam skala lebih besar lewat relasi yang saya bangun.
Saya memahami bahwa keputusan saya menjadi guru
sekaligus fasilitator di daerah penempatan Indonesia Mengajar, Majene, Sulawesi
Barat dan Tulang Bawang Barat, Lampung menjadi bagian penting dalam pempertajam
jejaring saya bersama masyarakat di akar rumput. Selanjutnya saya pun
memutuskan kuliah di The University of Adelaide yang ada di Australia bagian
selatan dengan tujuan meningkatkan kompetensi saya baik di bidang ilmu
pengetahun dan juga relasi. Baik lewat pertemanan di ruang kelas, luar kelas
dan juga di dalam berorganisasi. Saya selalu percaya bahwa dimana pun saya
tinggal di situ langit dijunjung, dalam artian saya harus menganggap bahwa semua
orang yang tinggal dan berinteraksi di sekeliling saya di mana pun saya berada,
adalah aset yang sangat berharga. Mereka adalah teman sekaligus keluarga bagi saya.
Dimana saya bisa belajar kepada mereka, mendapatkan inspirasi, memperoleh
kebaikan dan memperlancar rejeki tentunya. Walhasil, saya selalu menjaga jejaring dalam keseharian,
di organisasi, kampus, dan juga di masyarakat.
Membangun Jejaring dalam
Keseharian
Di saat tamat dari Sekolah Dasar, saya
melanjutkan belajar di lembaga pendidikan Islam, Pondok Pesantren Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep Madura selama enam tahun. Dari tahun 2000 sampai 2006,
rata-rata jaringan pertemanan saya berasal dari Madura, hanya beberapa teman
yang berasal dari luar Madura, seperti Jember, Banyuangi dan Probolinggo, yang
notabene semuanya bisa berbahasa Madura. Saya bersyukur sejak saat itu karena
saya sadar bahwa saya bisa menambah pertemanan yang bukan hanya dari satu
kabupaten bahkan bisa membuka pertemanan yang berasal dari luar pulau Madura.
Lebih bersyukur lagi ketika saya melanjutkan belajar Bahasa Inggris di Pare
Kediri tahun 2006. Di tempat tersebut saya mulai memiliki jaringan pertemanan
baru, puncaknya ketika saya memulai lembaran hidup baru di Kota Gudeg, Yogyakarta.
Jejaring perteman saya bertambah drastis ketika
saya tinggal dan hidup di kota pelajar tersebut, yaitu dari tahun 2007-2012.
Saat itu saya melihat peluang bahwa saya harus membuka jejaring pertemanan
dengan lebih luas lagi. Yaitu dengan cara ambil bagian dalam pertemanan saat awal-awal
perkuliahan. Ketika teman-teman mendukung saya untuk menjadi ketua kelas, saya
menyetujuinya, dengan harapan saya bisa lebih banyak lagi bergaul dengan
teman-teman kelas. Memang terbukti, lewat peran tersebut saya semakin percaya
diri untuk menjalin interaksi dengan teman-teman kelas di kampus dan juga
teman-teman di kos-kosan. Mereka berasal dari banyak daerah yang tersebar di
Indonesia. Saya senang sekali bisa melanjutkan kuliah di tempat dimana saya
bisa merasakan hidup bersama orang-orang yang multikultur. Saya berinteraksi
dengan teman-teman yang memiliki latar belakang yang beragam baik dari
perbedaan suku, budaya, dan bahasa. Dari sana, saya bisa menarik benang merah
bahwa cara yang cukup manjur untuk mempelajari perbedaan adalah dengan cara
merasakan perbedaan itu sendiri. Di mana saya pernah merasakan menjadi
minoritas di tengah-tengah orang yang mayoritas punya suku berbeda, bahasa
berbeda, atau pun agama yang berbeda, bahkan sebaliknya, dengan menjadi
mayoritas.
Memperluas Jejaring di
Organisasi
Lapisan pertemanan kedua adalah dimana saya
mulai masuk dalam organisasi ketika berada di Yogyakarta. Pertama saya
bergabung dengan organisasi yang berada di bawah naungan Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, di antaranya yaitu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Paradigma
dan Kelompok Studi Ilmu Pendidikan (KSiP). Kedua, saya terlibat dalam
organisasi luar kampus, semisal Komunitas KUTUB, Forum Badan Eksekutif
Mahasiswa Yogyakarta (FBEMP), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
Forum Indonesia Muda (FIM), Komunitas Peace Generation, dan kegiatan menjadi
volunteer seperti di APRRC (Asia Pacific Regional Rotaract Conference).
Komunitas Peace Generation adalah sebuah
komunitas yang memperjuangkan perdamaian dengan nilai-nilai youth, pluralism, active non-violence,
dan participation. Di komunitas
inilah saya belajar dengan teman-teman yang bukan hanya berasal dari kampus
tempat saya belajar, akan tetapi anggota di komunitas ini berasal dari bermacam
kampus yang tersebar di Yogyakarta seperti Universitas Gajah Mada, Universitas
Negeri Yogyakarta, Universitas Taman Siswa, Universitas Sanata Dharma,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, dan masih banyak kampus
lain, ada juga sebagian dari kalangan siswa. Dari organisasi ini pula saya
mulai belajar dari teman-teman yang berbeda agama, keyakinan, suku, bahasa dan orientasi
sek. Saya kemudian sadar bahwa jaringan pertemanan yang beragam latar belakang
membuka wawasan saya lebih beragam. Saya merasakan arti sebuah bhinneka tunggal ika dalam organasi ini.
Perbedaan bukan lagi sebagai ancaman bagi saya, akan tetapi sebagai suatu kekuatan
karena saya tidak akan lagi menutup diri hanya berteman dengan satu kelompok
dan juga memahami sesuatu dengan daya nalar yang lebih terbuka, tidak eksklusif.
Bergabungnya saya dengan Forum Indonesia Muda
(FIM) menjadi batu loncatan saya menambah jejaring pertemanan yang lebih luas
lagi. Di organisasi ini, saya menemukan teman-teman yang berasal dari
kampus-kampus yang tersebar di Indonesia. Lewat organisasi inilah, saya bisa
pergi ke Jakarta dan bisa jalan-jalan ke Bogor. Saya mendapat tumpangan tempat
tinggal di Jakarta dengan pertemanan ini. Sungguh saya merasa bahwa saat itu
saya beruntung sekali bisa lolos dalam seleksi FIM angkatan 12 karena saya
semakin percaya diri dan lebih memantapkan diri dengan komitmen yang baru,
yaitu saya harus membuka lebih luas lagi jaringan pertemanan dan tidak akan
pernah cukup dengan hanya berinteraksi dalam satu organisasi saja.
Saya selalu berkeyakinan bahwa setiap kali
bergabung dengan organisasi atau komunitas, wawasan saya semakin bertambah.
Satu lagi komunitas yang sangat bermanfaat bagi saya, yaitu komunitas KUTUB
yang berada di Yogyakarta. Komunitas ini terdiri dari mahasiswa yang tinggal
dan belajar di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Sewon Bantul. Dalam komunitas
ini, saya berjejaring dengan teman-teman yang belajar menempa diri dengan
menjadi seorang yang mandiri lewat jalan kepenulisan. Rata-rata mereka yang
berbagung di komunitas KUTUB adalah mahasiswa yang berusaha membiayai sendiri uang
kuliah di Yogyakarta dengan cara menulis di media massa. Apabila tulisannya
belum dimuat di koran, majalah atau media online, mereka pun ada yang bekerja sebagai
loper koran, penjaga di angkringan, pekerja di percetakan dan membantu
berjualan buku. Saya sendiri sempat menjadi loper koran sebelum kuliah, yaitu
pada tahun 2007, dan kemudian berselang tiga bulan kemudian tulisan saya dimuat
di beberapa koran. Dari sinilah saya mulai giat menulis dan membantu berjualan
buku keliling beberapa kota di Indonesia sampai akhirnya saya bisa kuliah pada
tahun 2008. Teman-teman di komunitas ini, selain mengajarkan saya bagaimana
bisa hidup mandiri secara finansial, bisa menulis di media massa, juga melatih
saya bagaimana tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara mensyukuri
setiap sesuatu yang dimiliki meskipun sedikit.
Berjajaring dengan
Masyarakat
Lebih dari dua tahun saya bergabung dengan
Gerakan Indonesia Mengajar. Sebuah gerakan pendidikan dan kepengajaran dalam
rangka ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebelum bertugas di penempatan
tempat mengajar, saya mendapatkan pelatihan selama dua bulan bersama 51
Pengajar Muda yang tergabung dalam angkatan kelima. Begitu pun ketika saya
kembali bertugas di angkatan ke ketujuh, saya sempat merasakan beberapa minggu
ikut pelatihan dengan 51 Pengajar Muda lain. Para Pengajar Muda dalam dua
angkatan tersebut adalah kumpulan pemuda yang luar biasa menurut pandangan
saya. Mereka adalah pemuda berprestasi terpilih yang punya tekat untuk
berkontribusi bagi Indonesia. Saya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan
mereka, dimana saya seperti berada dalam lingkungan orang-orang yang punya
optimisme tinggi untuk kemajuan Indonesia dengan kontribusi nyata di masyarakat.
Dengan bergabung bersama gerakan ini, saya
dipertemukan dua kali dengan wakil presiden Indonesia waktu itu, yaitu bapak
Budieono, ketua umum Palang Merah Indonesia, Muhmmad Jusuf Kalla, yang saat ini
menjabat wakil presiden Indoensia, direktur Gerakan Indonesia Mengajar, Anies
Baswedan, yang saat ini menjawab gubernur DKI Jakarta, termasuk bupati di
Majene, gubernur Lampung dan bupati Tulang Bawang Barat, dan banyak lagi pelaku
pendidikan baik di daerah ataupun di pusat. Saat pelatihan, saya juga bisa merasakan
bagaimana dilatih soal kemimpinan oleh Kopassus dan Wanadri, serta kepengajaran
bersama pemerhati bidang pendidikan seperti perwakilan dari bidang Kurikulum
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, trainer Weilin Han, Munif Chatib, dan
banyak tokoh inspiratif lain. Di saat pelatihan, saya dan pengajar muda lain juga
diberi kesempatan untuk berkunjung ke sekolah dasar berbasis alam.
Sehabis pelatihan, saya dan semua pengajar muda
lain mulai bertugas di lokasi yang berbeda-beda, seperti di Kabupaten Halmahera
Selatan, Majene, Paser, Bengkalis, dan Tulang Bawang Barat. Di lokasi
penempatan kabupaten Majene, saya mulai berinteraksi dengan siswa, keluarga
angkat, masyarakat dan stakeholder bidang pendidikan. Saya membangun relasi
baik dengan keluarga angkat yang saya anggap seperti keluarga sendiri beserta
masyarakat secara luas. Seiring perjalanan waktu, saya menyempatkan diri
sedikit belajar bahasa Mandar agar bisa semakin terasa dekat bersama mereka. Tidak
disangka, kepala desa Awo’ memberikan fasilitas sepeda motor kepada saya karena
dianggap telah memberikan kontribusi kepada anak-anak di sana, utama di Sekolah
Dasar Negeri Inpres Ulidang.
Berada di lingkungan baru dan membangun relasi
dengan masyarakat Mandar, mengajarkan saya akan kekayaan Indonesia. Saya
disadarkan bahwa Indonesia sangat luas bukan hanya dari segi bentangan secara
geografis, akan tetapi secara kebudayaan. Banyak sekali ilmu yang saya dapatkan
dari masyarakat di sana. Selain saya berbagi ilmu kepada anak-anak di ruang
kelas dan di luar sekolah dengan kegiatan kelompok belajar dan kursus bahasa
Inggris. Saya terkadang diminta untuk mengisi ceramah di masjid dan mengisi
majlis taklim. Sungguh saya merasakan akan keistimewaan menjadi bagian dari warga
negara Indonesia dengan segala keistimewaan yang ada, dengan keanegaraman kehidupan
masyarakat di dalamnya. Saya pun menimba ilmu kepada anak-anak yang saya ajar,
lebih-lebih dari masyarakatnya. Bahkan ketika saya menuliskan cerita ini di
South Australia, saya mencoba mengingatkan kenangan-kenangan indah itu bersama
masyarakat di Mandar.
Hampir sama apa yang saya rasakan ketika terjun
dan bertugas kembali di kabupaten Tulang Bawang Barat, provinsi Lampung, di
wilayah Hutan Tanaman Industri (HTI), saya kembali belajar hidup dan berinteraksi
dengan keluarga asli Lampung dan masyarakat yang beragam, seperti warga dari
keluarga transmigran Jawa, Sumatera dan Bali. Di tempat ini pula, saya mengajar
di sekolah dasar swasta yang bangunannya sangat sederhana, berdinding kayu. Namun
begitu, anak-anak tetap semangat belajar setiap hari, begitu juga dengan
guru-guru yang kesemuanya belum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Rata-rata
masyarakatnya menanam singkong dan memiliki kebun karet. Hidup di lingkungan
masyarakat tersebut yang notabene belum dimasuki aliran listrik dan jalannya
belum diaspal, saya belajar betapa masih banyak warga negara yang ada di
Indonesia belum merasakan fasilitas-fasilitas bagus yang selayakya disediakan
oleh negara. Saya belajar tentang jerih payah para orang tua di sana untuk
menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan. Semua itu, pelajaran yang
sangat mengagumkan. Sampai saat ini, saya
masih menjaga relasi bersama orang-orang baik di Lampung dan juga di Majene,
Sulawesi Barat lewat media sosial atau telpon seluler.
Berjejaring Saat
Belajar Bahasa Inggris
Setelah selesai melakukan pengabdian di Gerakan
Indonesia Mengajar pada tahun 2015, saya kembali ke Yogyakarta untuk belajar
bahasa Inggris. Di saat inilah saya memanfaatkan diri memperluas jejaring dalam
perjalanan mengikuti kursus bahasa Inggris di Cillacs, Universitas Islam
Indonesia. Di lembaga inilah saya bertemu dengan teman kelas yang sudah lolos
beasiswa LPDP, sebagian lain sedang berjuang untuk mendapatkan beasiswa lanjut.
Saya sendiri waktu itu sedang berjuang untuk mendapatkan beasiswa S2 keluar
negeri. Alangkah senangnya bisa punya teman seperjuangan yang kemudian biasa
diajak sharing seputar bahasa Inggris dan rencana studi ke luar negeri.
Kelas pertama yang hendak saya ambil adalah kelas
IELTS Preparation, akan tetapi karena saya tidak lolos dalam tes masuk,
akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti kelas Introduction for IELTS
Preparation terlebih dahulu. Di kelas ini, untuk pertama kalinya saya mengenal
soal-soal IELTS. Tidak heran, jika pada waktu itu saya merasa kebingungan
bagaimana menghadapi soal IELTS, dari mulai bagaimana cara mendeskripsikan sebuah
data berbentuk tabel dan membuat essai terhadap satu persoalan. Hari bertambah hari
akhirnya program tersebut selesai dan saya berpindah masuk ke kelas IELTS
Preparation. Waktu itu, pengajarnya adalah Mr Imam. Saya sangat menikmati kelas
tersebut karena pengajarnya tidak hanya berbagi pengetahuan seputar pelajaran
IELTS, akan tetapi juga berbagi cerita bagaimana cara mendapatkan beasiswa
keluar negeri, di saat sebelum kelas dimulai. Tak heran apabila saya selalu
masuk kelas kira-kira 30 menit sebelum kelas dimulai dengan harapan agar
mendapatkan cerita-cerita persiapan untuk mendapatkan beasiswa S2 ke luar
negeri.
Belum merasa cukup dengan program IELTS,
kemudian saya melanjutkan ikut program Speaking Class II, TOEFL Preparation dan
Progressive Class angkatan ke 20. Salah satu alasan saya mengambil kursus TOEFL
karena waktu itu saya berencana mencoba beberapa beasiswa yang masih menerima
sertifkat TOEFL ITP sebagai persyaratannya, semisal beasiswa dari pemerintah
Turki dan AAS (Australian Awards Schoolarship). Akan tetapi karena nilai TOEFL
ITP saya saat itu belum mencukupi akhirnya saya merencanakan untuk tes kembali.
Sampai akhirnya saya kembali mengikuti tes TOEFL ITP sebanyak empat kali. Beruntung
sekali salah satu nilai yang saya dapat malah bisa masuk dalam persyaratan
mendaftar Beasiswa LPDP. Di kala sempat merasa bosan ikut kursus, teman-teman
kelas Progressive 20 mendatangi kosan saya di Papringan, Sleman. Betapa saya
merasa bersyukur bisa membangun jejaring pertemanan di kelas, yang kemudian
secara tidak sadar membuat saya tetap semangat dan menikmati perjalanan kursus
sampai akhir.
Di kala saya diterima beasiswa LPDP (Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan) Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk kulian
di luar negeri, teman-teman kursus saya juga banyak yang diterima beasiswa S2
di dalam dan luar negeri. Senang rasanya bisa merasakan berjuang bersama dan
merasakan diterima bersama-sama. Seperti merasakan senasib dalam keberuntungan.
Di lembaga inilah, saya untuk pertama kalinya bertemu calon istri saya, Ratna
Sari, yang rencananya akan menikah bulan depan, Desember 2017. Rasa syukur kepada
Allah SWT patut saya ucapkan, yang telah mempertemukan pasangan hidup dalam
jejaring pertemanan di lembaga kursus bahasa Inggris. Dari sini, saya memiliki
keyakinan bahwa jodoh dalam hidup akan mudah ditemukan apabila seseorang selalu
membuka jejaring pertemanan di mana pun berada.
Mengepakkan Sayap
Jejaring di Luar Negeri
Sebelum saya kuliah ke luar negeri, dua
jejaring pertemanan yang saya bangun adalah jejaring di kelas Pengayaan Bahasa
(PB) oleh LPDP di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Persiapan Keberangkatan
(PK) angkatan 102. Sembilan puluh lima persen teman kelas PB sudah berangkat ke
luar negeri untuk melanjutkan S2. Begitupun dengan teman-teman PK yang hampir
kesemuanya sudah memulai belajar di kampus dalam negeri dan luar negeri. Bagi
saya, memiliki jejaring dengan teman-teman berprestasi di bidangnya
masing-masing adalah sebuah hadiah yang sangat indah dari Tuhan karena saya
selalu mendapatkan canda tawa, ilmu pengetahuan baru, dan jaringan pertemanan
baru yang tidak berkesudahan dari teman-teman tersebut. Meskipun hidup di
belahan dunia yang berbeda, saya masih bisa kontak-kontakan bersama mereka, dan
bertukar pengalaman di media sosial.
Di saat sudah tinggal South Australia sejak
Februari 2017 dan juga melanjutkan kuliah di The University of Adelaide, saya
kembali membangun jejaring baru. Setidaknya beberapa komunitas tempat
berjejaring saya meliputi banyak bidang, seperti perkumpulan Awardee LPDP South
Australia, Perkumpulan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) The University of
Adelaide, Masyarakat Islam Indonesia Australia Selatan (MIIAS), Golive
Indonesia, dan Warga KCB (Kurralta City Beach). Di komunitas yang beragam ini,
saya belajar banyak ilmu pengetahuan baru dengan ciri khas masing-masing. Keaktifan
dalam beberapa komunitas tersebut membawa saya merasa tidak sendiri dalam
belajar dan berjuang untuk berkontribusi kepada orang lain.
Sampai suatu saat ketika saya diajak oleh Presiden
AUU The University of Adelaide (2016-2017) untuk mendaftarkan diri sebagai
General Secretary pada Student Representative Coucil di The University of
Adelaide, saya mendapatkan banyak dukungan dari jejaring komunitas tempat saya
bergabung. Walhasil, saya terpilih dengan meraup suara dua kali lipat lebih dibanding
dua saingan saya. Saat ini saya sudah mulai bekerja sebagai perwakilan
mahasiswa untuk mahasiswa di tingkat domestik dan internasional. Dimana saya
bekerja secara kolaboratif dengan teman-teman yang berasal dari beberapa negara
di belahan dunia. Selain saya membangun jejaring dengan mahasiswa di luar
negeri, saya juga membangun jejaring dengan dosen di Australia, bahkan juga
dengan guru-guru di sekolah dasar ketika mengajarkan budaya Indonesia bersama
teman-teman di tiga Sekolah Dasar di South Australia. Kini saya sudah membangun
jejaring di tingkat global. Saya merasakan banyak manfaat dari berjejaring, yang
membawa saya pada kemudahan-kemudahan dalam menjalani kehidupan di luar negeri.
Tentu saja, yang patut menjadi catatan adalah di komunitas apapun saya
berjejaring, saya selalu berusaha memberikan kontribusi walau sekecil apapun
karena dengan begitu saya sudah menanam benih kebaikan, yang kelak kebaikan
tersebut akan kembali kepada diri saya sendiri.
Sebagai penutup cerita pendek ini, saya ingin
berpesan bahwa sebagai pemuda Indonesia yang punya semangat tinggi untuk
melakukan perubahan positif, tidaklah cukup apabila hanya melakukan perubahan
dengan seorang diri, lewat jalan berjejaring inilah para pemuda bisa melakukan
kontribusi dengan lebih luar biasa dampaknya kepada masyarakat luas. Setidaknya,
berjejaring yang dimulai sejak masih muda adalah sebuah kewajiban yang butuh
dilakukan agar hidup tidak hanya sekedar hidup, akan tetapi hidup yang penuh
dengan warna yang selalu menghiasi kehidupan ini. Lewat berjejaring seorang
pemuda dapat menemukan canda tawa, merasakan hangatnya sebuah pertemanan,
mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, dan membuahkan karya kolaboratif dengan
dampak yang besar. Apakah Anda seorang pemuda atau punya sepirit muda? Mari
berjejaring!
Baca Artikel yang Lain di Sini
Komentar