Keluarga yang Luar Biasa
Foto Sesi Pernikahan Kakak Sulung. Dari Kanan; Nurul, Walid, Moh. Saleh, Kardi dan istrinya, Madun, dan Hidayatus |
Sebuah kesyukuran yang luar biasa, saya dilahirkan di tengah-tengah
keluarga yang sangat agamis, harmonis, tentram, sederhana dan penuh kasih
sayang. Tidak ada ucapan yang lebih pantas dibanding ungkapan alhamdulillah dan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya, kedua kakak dan adik perempuan
yang bungsu. Saya bertahun-tahun hidup bersama keluarga yang sangat super.
Keluarga inilah yang tiada lelahnya mendoakan saya kepada Allah SWT serta yang telah
mengantarkan saya seperti sekarang ini.
Bapak saya punya kepribadian yang ulet berjuang. Bapak mengajarkan kepada saya agar tidak menyerah dalam kondisi sesulit apa pun. Bapak pernah bilang, “Ketika bapakmu dulu masih kecil, bapak nekad memulai bisnis, bapak berdagang kemana-mana demi membantu orang tua bapak dan membiayai pendidikanadik bapakdi pondok”. Di sini bapak menegaskan bahwa bapak saya rela tidak mengenyam pendidikan formaldemi membantu keluarga dan membantu meringankan biaya mondok adiknya, yang belajar agama di pesantren. Saya memahamibahwa kasih sayang bapak terhadap saudaranya sangat tinggi. Tidak hanya itu, bapak juga telah menunjukkan dalam keluarga sebagai pemimpin dan pembimbing ke jalan yang benar. Bapak mewajibkan kepada setiap anaknya agar pernah mengenyam pendidikan agama Islam. Tidak salah jika dari semua anaknya pernah belajar di madrasah dan minimal tiga tahun belajar di Pesantren Annuqayah. Bapak juga mewanti-wanti kepada seluruh anaknya agar menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi.
Bapak selalu bilang di kala keluarga sedang berkumpul
“Meski bapakmu ini tidak lulus Sekolah Dasar (SD) sekalipun, tapi bapak menginginkan
semua anaknya menuntut ilmu setinggi-tingginya”. Tidak berhenti dalam berpesan
saja, bapak juga menunjukkan kerja kerasnya, setiap hari banting tulang mencari
nafkah untuk keluarga, serta untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Bahkan
waktu saya masih duduk di SD, saya sering melihat bapak memberikan uang untuk
keponakan-keponakannya yang menempuh pendidikan di pondok pesantren. Waktu itu
memang perekonomian dalam keluarga saya cukup bagus. Bapak saya masih cukup
sehat bekerja pada waktu itu. Bapak saya adalah petani sekaligus pedagang
tembakau dan peternak sapi sonok yang
handal.
Semasa saya kecil, bapak sering mencontohkan kepada keluarga
bagaimana cara mencari uang yang baik. Waktu saya akan berangkat ke SD, bapak
jika tidak ada kerjaan biasa mengantar saya beserta adik saya. Di hari libur
sekolah, bapak terkadang mengajak anak-anaknya mencari makanan sapi di ladang.
Bapak dengan tangkasnya memotong ranting-ranting pohon dan menebas daun-daun
kelapa buat makanan sapi. Selain itu, bapak sering kali membelikan makanan
kesukaan kami sekeluarga waktu itu, sate, roti, dan kacang-kacangan di saat
datang dari perjalanan. Lebih-lebih ketika bapak saya mendapatkan untung banyak
dari hasil berdagang tembakau, dia tidak segan mengajak saya memilih makanan
kesukaan sepuasnya yang adadi warung.
Bapak saya bernama Sunarwi. Sudah lumrah di lingkungan
masyarakat saya, Madura, ketika seseorang selesai menunaikan haji maka setelah
pulang dari Mekkahnamanya diganti. Seperti halnya bapak saya, ketika selesai
melaksanakan rukun Islam yang ke lima, bapak saya berganti nama menjadi H. Moh.
Saleh. Bapak saya kelahiran Sumenep, pada 1 Juli 1948 (66 tahun). Saya sendiri
baru tahu kalau dulunya nama bapak saya adalah Sunarwi, ketika saya sudah
beranjak dewasa. Waktu itu saya mendengar perkataan tetangga bahwa dulunya
bapak bernama Sunarwi.
Sedangkan ibu saya bernama Madun. Sama halnya dengan
bapak saya, ketika ibu pulang dari tanah suci, nama ibu diganti menjadi Hj. Sa’diyah.
Ibu lahir di kota paling timur pulau Madura, yaitu di Sumenep pada 1 Juli 1951
(63 tahun). Ibu berasal dari desa Bilapora, sedangkan bapak dari desa Moncek
Barat. Kedua desa tersebut sangat berdekatan karena masih dalam lingkup satu
Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Kami sekeluarga tinggal di desa Moncek
Barat, dimana tempat bapak lahir. Bapak tidak membuat rumah jauh-jauh dari
rumah nenek, sebab nenek melarang keras anak-anaknya membuat rumah di tempat
yang jauh.Tidak sama dengan kemauan nenek, malah bapak saya belakangan membebaskan
anak-anaknya dalam membuat rumah di mana saja ketika sudah berkeluarga. Tidak
harus berdekatan dengan rumah bapak saya. Seperti halnya kakak saya yang
pertama, ketika sudah berkeluarga, kakak saya membeli rumah di ibu kota
kabupaten bersama dengan istrinya.
Ibu saya adalah contoh ibu rumah tangga yang luar
biasa. Kasih sayang ibu pada anaknnya tidak terbatas. Ibu saya adalah sosok
yang sangat tekun beribadah. Sudah biasa sejak kecil saya setiap hari
mendengarkan ibu mengaji sehabis solat wajib lima waktu. Tidak ketinggalan,
hampir setiap akan solat malam, ibu yang selalu bangun lebih awal. Setelah ibu
ambil wudhu, biasanya langsung membangunkan kami sekeluarga. Tidak
tanggung-tanggung, ketika saya dan kakak masih malas-malasan untuk bangun,
biasanya ibu menunggu kami di depan pintu kamar untuk memastikankami
benar-benar bangun dari tidur. Saya juga masih sangat ingat, betapa ibu selalu
punya waktu untuk saya di kala saya sakit. Ibu selalu membuatkan makanan
kesukaan saya waktu itu, namanya kaldu. Di
kala ibu tidak bisa membuatkan di rumah, biasa ibu membelikannya di Pasar
Settoh.
Betapa saya sangat bersyukur lahir dari seorang ibu
yang tekun beribadah. Saya pun tidak akan pernah lupa pesan ibu yang selalu
dibilang berkali-kali kepada saya “Jangan pernah berbuat maksiat di mana pun
kamu berada nak!”. Kata-kata inilah yang selalu saya ingat sampai saya besar. Bukan
hanya itu, ibu saya adalah sosok yang tekun dalam bekerja dan orangnya penyabar.
Selesai mengaji dan sholat Dhuha, ibu rutinlangsung bergegas ke dapur untuk
memasak dan langsung pergi ke ladang. Biasanya keladang untuk beberapa hal, kadang
mencari makanan sapi, atau untuk menyiram tembakau di kala musim
kemarau.Apabila hari Selasa, Kamis dan Sabtu, ibu saya pagi-pagi pergi ke pasar
untuk belanja bahan makanan di dapur. Atau kadang kala berbelanja barang-barang
untuk kebutuhan jualan di toko depan rumah. Ketika saya melihat ibu sibuk mengurus
urusan di dapur, saya biasa membantu ibu membersihkan halaman rumah.
Berikutnya, kakak saya yang sulung bernama Sukardi.
Kemudian mendapat gelar S.E, setelah lulus kuliah dari Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Widya Gama Malang. Kakak saya yang pertama ini
lahir di Sumenep pada 1 Mei 1972 (42 tahun). Beberapa orang kadang memanggil
Sukar. Tapi belakangan kakak saya menyarankan kepada orang-orang yang
memanggilnya Sukar, agar diganti dengan panggilan Kardi. Maka, selanjutnya
panggilan Kardi yang lebih dikenal. Kakak saya masuk di pesantren waktu Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Kabupaten
Sumenep, di daerah Latee, yang waktu itu pesantren dipimpin oleh Kiai Basyir.
Saya biasa memanggil Cacak. Cacak Kardi telah
mengajarkan saya betapa pentingnya mencari ilmu setinggi-tingginya. Waktu
kecil, di kala Cacakada waktu luang, biasa mengajarkan saya belajar Calistung
(Baca Tulis Hitung). Kakak saya yang sekarang sudah memiliki istri dan memiliki
tiga orang anak, selalu tidak berhenti-hentinya memotivasi saya agar melanjutkan
pendidikan sampai Magister. Di saat saya duduk di kelas dua MTs II Annuaqayah,
setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya disuruh ikut kursus komputer.
Alhamdulillah di kala kebanyakan teman-teman saya masih belum paham komputer,
saya sudah bisa mengoprasikan komputer setelah selesai mengikuti kursus di
daerah Sawajarin selama satu bulan penuh.
Kakak kedua saya bernama Moh. Walid Saleh. Saya biasa
memanggil mak Walid. Ia lahir di Sumenep pada 10 Desember 1984 (29 tahun). Sehabis
menyelesaikan SMP di Bluto, mak Walid mondok di Annuqayah bersamaan dengan
saya. Mak Walid masuk MA II Annuqayah, saya masuk di MTs II Annuqayah. Waktu
kecil, dalam kesarian di rumah, saya biasa sekamar dengan mak Walid. Jika saya
ingin kemana-mana biasanya mak Walid yang mengantar karena mak Walid lebih dulu
bisa naik motor. Hal lucu yang pernah saya alami bersama mak Walid adalah,
ketika mak Walid meminta bantuan saya ketika hendak belajar mengemudikan mobil pick up punya bapak. Waktu itu, di rumah
lagi tidak ada bapak, sedangkan mobil ditinggal di rumah. Dengan diam-diam mak
Walid membawa mobil ke luar, saya sendiri membantu mengarahkan di sampingnya. Mak
Walid dalam beberapa kesempatan, sangat banyak membantu saya, baik ketika saya
butuh bantuan saat di rumah atau ketika sedang di luar kota.
Saya sendiri adalah anak urutan ketiga, terlahir dengan
nama Nurul Ikhsan. Lahir di Sumenep pada 29 Juni 1987. Belakangan ketika saya
akan lulus dari SD, saya mendapatkan tanggal lahir saya ditulis, Sumenep, 27
Juli 1988. Waktu itu, saya belum sadar bahwa tanggal, bulan dan tahun kelahiran
saya berbeda dengan catatak Kartu Keluarga (KK). Waktu itu, saya hanya diminta
Cacak Kardi menambahkan nama Muhammad di depan nama saya yang kemudian di
singkat M, terus menambahkan kata Saleh di belakang nama saya pada Ijazah.
Belakangan saya sadar bahwa catatan kelahiran saya berbeda antara di ijazah
dengan di KK setelah saya lulus SMA I Annuqayah. Saat itu, saya punya rencana
akan kuliah keluar kota jadi saya diminta menyiapkan akte kelahiran oleh teman
saya yang kuliah di Yogyakarta. Saya pun sadar bahwa saya belum punya akte
kelahiran. Akhirnya, saya mengurus perubahan nama dan kelahiran di KK agar
sesuai dengan yang ada di ijazah. Setelah itu saya juga mengurus pembuatan akte
kelahiran. Alhamdulillah saya mengurusnya sendiri dan semua urusan berjalan
lancar. Sejak saat itulah saya memiliki akte kelahiran serta nama dan tanggal
kelahiran sesuai antara di KK dengan yang diijazah. Satu lagi, pada waktu itu
saya juga membuat KTP yang baru, menyesuaikan data di KK yang baru.Saya senang
sekali karena merasa sudah resmi menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Adik bungsu saya bernama Hidayatus Shalihah. Ia
perempuan cantik kelahiran Sumenep 22 Februari 1992 (22 tahun).Adik saya waktu
kecil, orangnya senang sekali bermain bersama saya. Bahkan ketika akan meminta
bantuan, biasanya selalu meminta bantuan saya. Hanya saja ketika saya
melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, saya sudah sangat jarang bertemu adik saya.
Bahkan ketika adik saya menyusul mondok di Pesantren Annuqayah,saya sudah jarang
bertemu. Adik saya kuliah di Universitas Wiraraja Sumenep. Sekarang sudah lagi
dalam tahap penyelesaian tugas akhir, skripsi. Ia sangat semangat belajar,
bahkan ia seringkali mengkonsulitasikan kepada saya di kala ada permasalahan
yang tidak terselesaikan di kampus. Adik saya adalah perempuan pemberani.
Pernah dia bercerita kalau pernah diganggu oleh salah satu mahasiswa putra,
sepontan adik saya langsung menamparnya. Dari situ mahasiswa tersebut langsung
kapok. Adik saya adalah perempuan yang tekun dalam membantu urusan di rumah. Saya
sangat bangga karena adik saya dari hari ke hari sudah semakin mandiri.
Terakhir, saya ingin kembali mengucapkan syukur kepada
Allah SWT yang telah menghadirkan saya di tengah-tengah keluarga yang luar
biasa. Kata syukur yang tidak terbatas dan akan selalu saya lantunkan. Saya
berdoa kepada Allah SWT semoga saya beserta keluarga selalu dalam
lindungan-Nya. Selalu dalam iman kepada-Nya, terus semangat beribadah, semangat
berbagi untuk orang lain dan sehat selalu. Hingga kemudian kelak, saya beserta
keluarga saya kembali ke hadirat Allah SWT dengan sebaik-baiknya, menuju kematian
yang husnulhotimah.
Komentar