Senam Riang Anak SD Terang Agung
Siswa SD Terang Agung sedang melaksanakan senam |
Hari Jumat (15/8/2014) saya berangkat ke sekolah pagi-pagi.
Sama dengan Jumat tujuh hari sebelumnya. Saya berangkat
pagi-pagi karena hendak memimpin senam. Seperti biasa anak-anak sangat
bersemangat mengikuti Senam Riang Anak Indonesia belakangan. Ini mungkin
disebabkan anak-anak jarang sekali mengikuti senam. Senam jarang sekali diadakan
oleh para guru, bahkan bisa dibilang hampir tidak pernah, oleh karena belum ada
pengeras suara. Bahkan, sekolah belum tentu bisa menyalakan alat pengeras suara
untuk senam karena tidak ada aliran listrik.
Di SD Terang Agung belum ada saluran listrik,
buru-buru saluran listrik, tiang pancang kabel saja di dusun Terang Agung belum
masuk. Padahal dalam setahun terakhir, masyarakat sudah melakukan iuran lima
ratus ribu rupiah kepada salah satu perangkat desa yang menjanjikan pemasangan aliran
listrikdari PLN. Sampai sekarang pun belum ada tiang kabel yang masuk, bahkan
uang yang dibayar masyarakat tidak tahu kemana. Sungguh ironis, hanya karena
ketamakan pada uang, para petinggi Desa kemudian menyelewengkan uang iuran dari
masyarakat, ia menukar dengan kepercayaan yang sudah lama dibangun. Masyarakat
pun kadang kala mengeluhkan hal tersebut lewat cerita, saat saya berkunjung ke
rumah-rumah untuk silaturrahim di lingkup beberapa dusun.
Terlepas dari itu semua. Saya tidak cukup jika hanya mengutuk, maka saya harus menyalakan lilin. Itulah prinsip yang ditanamkan Indonesia Mengajar. Jadi, dulunya Sekolah Dasar tempat saya mengajar, jika ada kegiatan senam biasanya meminjam pengeras suara dan genset punya salah satu guru atau milik pak RT dengan syarat sekolah siap mengganti uang minyak. Walhasil, duagenset yang digunakan di saat yang berbeda untuk mengaliri listrik ke pengeras suara meledak, alias rusak. Saya tidak tahu kenapa bisa rusak, saya hanya mendengar cerita dari salah satu guru begitu. Akibatnya setelah dua kali genset rusak akibat digunakan untuk penyelenggaraan senam, akhirnya pemilik genset tidak mau lagi bersedia menfasilitasi penggunaan genset untuk sekolah. Akibatnya, sekolah hampir tidak pernah melaksanakan senam setelahnya. Ini juga karena semua masyarakat tidak menyalakan genset di siang hari.
Perlu diketahui, genset di masyarakat tempat saya
tinggal, hanya menyala di kala malam hari dari menjelang Magrib sampai jam
sebelas malam. Habis itu, dusun gelap gulita. Maka, pada waktu awal-awal saya
menjadi Pengajar Muda di sini, saya mengajukan usul kepada guru dan kepala
sekolah agar menganggarkan pembelian pengeras suara yang bisa dicas. Sekolah
pun mengiyakan usulan saya. Jangan membayangkan sekolah jika sudah mengiyakan
terus kemudian menindak lanjuti. Seperti biasa agar rencana ini tidak berjalan
sia-sia saya menawarkan diri menfasilitasi pembelian. Konsekuensinya saya harus
nombok dulu dengan uang sendiri. Harapannya ketika uang BOS (Bantuan
Operasional Sekolah) turun, kemudian uang yang saya gunakan untuk membeli
diganti. Tapi saya pun tidak terlalu banyak berharap, karena belakangan Kepala
Sekolah bilang, kalau sekolah sedang memiliki hutang ke Dinas Pendidikan, yang
dalam hal ini kepada Korwas Pendidikan Kecamatan Gunung Terang sebesar tiga
belas juta rupiah.
Besarnya hutang tersebut selalu dikeluhkan dan
dikasih tahu Kepsek dalam rapat guru-guru di sekolah. Saya pun tidak tertarik ngurus
kenapa sekolah punya hutang sebanyak itu. Kata Kepsek sih, di tingkat kecamatan atau
kabupaten selalu ada program pembelian barang-barang untuk sekolah se-kecamatan,
dimana sekolah tidak boleh tidak harus beli. Seperti halnya pembelian laptop
yang dipatok harga delapan juta. Padahal jika ditelusuri, harga laptop dengan
merek yang sama di toko rata-rata harganya empat juta setengah. Hendak dibuat
apa lebihnya uang tersebut? Dengan jumlah sekolah cukup banyak
di tingkat kabupaten. Di kecamatan Gunung Terang saja ada 23 Sekolah Dasar,
belum lagi di tujuh kecamatan lain yang ada dikabupaten ini. Selain itu,
ada program pengadaan buku Panduan Sukses UN, Buku Pesantren Kilat dan terakhir pengadaan Buku Silabus Kurikulum 2013 yang harganya dua juta rupiah. Itu semua
tidak gratis sodara-sodara. Sekolah harus membelinya dari Dinas Pendidikan
Kabupaten, yang dalam hal ini diwakilkan ke Korwas dalam pembayaran di tingkat
kecamatan. Tapi saya yakin, bahwa itu semua pasti untuk tujuan baik, dimana dari semua pembelian
itu demi menambah jumlah fasilitas di sekolah dan sekaligus mendukung efektifitas
proses pembelajaran di sekolah.
Apa boleh buat, begitulah kenyataan di lapangan.
Uang BOS yang turun setiap tiga bulan sekali, hanya cukup untuk membayar gaji honorer
yang berjumlah tujuh orang (belum ada guru PNS) dan menutupuang tunggakan
kepada Dinas Pendidikan secara bertahap. Layaknya negara Indonesia, yang tidak
selesai-selesai membayar hutang ke luar. Belum lagi ancaman kedatangan wartawan
abal-abal yang berlagak preman, yang memeras Kepsek untuk meminta uang. Ketika
kepala sekolah menanyakan “Sampeyan wartawan dari mana?” Biasanya kata Kepsek,
si wartawan menjawab “Kami wartawan buletin lalu lintas”. Saya pun hanya bisa
tertawa mendengar. Kok ada sih wartawan yang mau hidup dari uang hasil memeras?Saya
sendiri belum pernah bertemu langsung dengan si wartawan yang bersangkutan ketika
datang ke rumah Kepsek.“Wartawan tersebut rata-rata tidak sendiri minimal
berdua”tambahKepsek.
Singkat cerita, pada 29 Maret 2014, ketika saya
pergi ke Palembang bersama enam Pengajar Muda lain yang ada di TBB, saya menepati
janji untuk menfasilitasi sekolah dalam pembelianpengeras suara merek Kris yang
berharga tujuh ratus ribu rupiah lebih sedikit.Bersyukur meskipun pengeras
suaranya kecil, tapi suaranya keras. Bahkan ketika sekolah melaksanakan senam
pagi, suaranya cukup terdengar dengan jelas kepada siswa-siswi yang berjumlah 116
anak di sekolah, bahkan suaranya terdengar keras sampai di ruang TK seberang
yang berjarak 100 meter. Hal itu juga bisa terlihat karena anak-anak mengikuti
nyanyian Senam Riang Anak Indonesia dengan jelas menirukan suara yang keluar
dari pengeras suara.
Bagi saya, kunci pengabdian di sekolah adalah
selalu ikhlas dan semangat. Sampai saat ini pun di bulan Agustus, penggunaan
uang untuk membeli pengeras suara dari saya belum diganti oleh sekolah secara
penuh. Sekolah hanya mampu mengganti tiga ratus rupiah. Saya pun ikhlas
meskipun sekolah tidak membayar penuh. Saya tidak mungkin harus memaksa Kepsek membayarkan
penuh dari uang BOS, karena saya sadar bahwa masih ada guru-guru dan tentu Kepala
Sekolah sendiri yang lebih membutuhkan dari pada saya. Gaji mereka yang didapat
dari uang BOS rata-rata digunakan untuk biaya hidup keluarga di rumah,
sedangkan saya belum berkeluarga.#Aku rapopo.
Saya hanya selalu berdoa kepada Tuhan agar rejeki
saya dimudahkan. Dan alhamdulillah rejeki saya masih saja cukup. Cukup untuk membiayai
kebutuhan sehari-hari, bahkan lebih. Tapi mungkinbisa tidak cukup jika saya
mengikuti keinginan. Karena keinginan saya adalah membeli pesawat biar bisa keliling
keluar negeri. Haha. Boro-boro beli pesawat. Pergi ke luar negeri saja belum
pernah. Semoga deh suatu hari nanti bisa terwujud.
Tentu, kebahagiaan tak ternilai dalam pengabdian
sebagai Pengajar Muda adalah ketika melihat anak-anak senang melihat kedatangan
saya di sekolah. Tak terkeculai ketika saya memimpin senam di halaman sekolah.
Rata-rata anak-anak tidak cukup hanya dengan satu kali senam. Mereka rata-rata
bilang “Lagi. Lagi Pak!”. Saya pun tidak bisa menolak permintaan 116 siswa itu.
Saya selalu mengiyakan, yang penting anak-anak riang gembiara melakukan senam.
Salah satu momenlucu yang saya rasakan adalah
ketika pada suatu hari saya mengulangi senam untuk yang kedua kalinya.
Tiba-tiba pengeras suaranya mati. Saya pun berhenti. Tiba-tiba nyala lagi. Saya
pun memulai gerakan lagi. Selang beberapa kali gerakan, pengeras suaranya mati kembali.
Anak-anak pada tertawa.Habis mati yang kedua kalinya, pengeras suara tidak
nyala lagi sebab kehabisan daya. Lupa dicas pada malam hari sebelumnya. Habis
tertawa, sebagian anak pun kecewa sodara-sodara. Saya hanya bilang “Tenang,
masih ada minggu depan lagi ya!”. Anak-anak pun tertawa kembalisambil bilang
“Siap pak!”. Itulah diantara kesenangan yang tidak ternilai. Anak-anak senang. Saya
ikut senang.
Ke depan, saya menginginkan pelaksanaan senam
bisa berjalan meskipun saya tidak hadir di sekolah. Sempat beberapa kali guru
yang memimpin meskipun saya tidak lagi di sekolah, dikarenakan ada pertemuan di
kecamatan atau di tingkat kabupaten,biasanya bertemu dengan orang Dinas
pendidikan atau dengan perangkat pemerintah. Saya cukup senang melihatnya.
Belakangan senam tidak lagi jalan karena pengeras suaranya tidak tahu kemana.
Saya pun seperti pahlawan yang selalu berada di depan untuk mencari keberadaan
pengeras suara. Ternyata, pengeras suaranya ada di rumah Kepsek dengan kondisi
tercecer. Hal yang sama dengan kondisi alat peraga olah raga punya sekolah yang
ada di rumah Kepsek. Sangat memprihatinkan. Tentu saya tidak bisa menyalahkan
siapa-siapa, ini disebabkan kondisi rumah Kepsek sendiri sangat memprihatinkan.
Sekolah juga tidak ada tempat penyimpanan barang. Kalaupun kita coba taruh di
kantor sekolah yang sempit, bisa dipastikan dalam waktu satu malam barang
tersebut hangus, alias hilang dibawa tangan-tangan tidak bertanggung jawab.
Memang ajaib sodara-sodara. Air minum saja dalam kardus yang tertinggal di
kantor, langsung hilang dalam semalam.
Tapi tetap saja, saya, kamu, kita, harus optimis
dengan kondisi apa pun. Pengeras suara kembali terawat dengan baik ketika saya
taruh di tempat saya tinggal. Selalu ada jalan menuju solusi terbaik asal kita
mau berpikir. Haha... Oke. Sepertinya saya harus mengambil pelajaran di akhir
tulisan ini agar ceritanya bisa disudahi. Seperti halnya Hutbah Jumat, yang diakhir
ceramah diisi dengan kesimpulan atau pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pelajaran
berharga pertama dari tulisan ini adalah, untuk menjadi guru yang disenangi
siswa, seorang guru sebaiknya tidak harus selalu memaksakan kehendak, akan
tetapi harus mengikuti kesenangan siswa, asal itu positif dan bermanfaat.
Pelajaran kedua adalah ketika kita mau berbaik hati, berbagi dengan orang lain,
pastilah kebahagiaan akan datang dengan sendirinya kepada kita, dengan bahagia
yang tidak ternilai. So, mari berbagi untuk orang lain. Ketiga, sebagai guru
yang menginginkan perubahan yang lebih baik, kita harus selalu berpikir untuk
mencarikan alternatif segala permasalahan dengan positif dan optimis. Pastilah
ada jalan keluar bagi setiap masalah. Hidup tidak sesulit yang dibayangkan
apabila kita berpikir positif dan opitimis.
Komentar
saya juga merasakan senang yang sama ketika bisa menjadi instruktur senam di sekolah, di sekolah saya juga baru 1 bulan terakhir ini ada senam, selain karena gak ada listrik di siang hari, juga karena gak ada yg jadi instrukturnya.. :D
bahagia bgt ketika bisa berbagi hal baik dengan orang lain.. hihihihiii.. ^_^
Kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas dan mengabdilah untuk cinta..
Inspirasi kakak selalu saya tunggu.. Tetap sabar n selalu jaga kesehatan dimana pu berada..!!! Salam semangat.. ;)