Sebuah Pengantar untuk buku Aku Anak Awo’
Buku Aku Anak Awo' |
[Apabila ingin memiliki buku
Aku Anak Awo’ silahkanunduh di sini]
Setiap anak yang terlahir di
muka bumi membawa bakat dan potensi. Berkat bakat dan potensi yang diasah,
seorang anak bisa menjadi sukses dan terpandang. Tinggal bagaimana kesungguhan
seorang guru dan orang tua, menggali dan mengasah, bakat dan potensi
anak-anaknya. Ibaratkan pisau, apabila ia sering diasah, akan menjadi tajam.
Sebaliknya, apabila tidak diasah, pisau tersebut tetap tumpul, bahkan tidak
bisa dimanfaatkan untuk memotong barang apapun. Otak manusia pun begitu.
Salah satu bakat dan potensi
yang perlu diasah dari diri seorang anak adalah kemampuannya di bidang tulis
menulis. Ketika anak mulai diperkenalkan dengan dunia membaca, ia perlu juga
dikenalkan dengan dunia kepenulisan. Hal ini bertujuan untuk membiasakan anak
sejak dini mengenal dunia menulis. Banyak orang dewasa yang merasa kesulitan
ketika akan menuangkan idenya dalam bentuk tulisan. Bahkan menuliskan satu
paragraf tulisan pun ia kesulitan. Hal inilah yang banyak dirasakan oleh
guru-guru Sekolah Dasar (SD) di pelosok. Mereka sangat sulit mengeluarkan ide
yang ada di kepala untuk dituangkan ke dalam lembaran kertas. Padahal ada
banyak ide di otaknya.
Berangkat dari alasan itulah, Saya sebagai Pengajar Muda angkatan V, dari Gerakan Indonesia Mengajar yang bertugas di SD Negeri Nomor 30 Inpres Ulidang, Desa Awo’, Kecamatan Tammero’do, Kabupaten Majene tertarik dan tertantang untuk mengasah anak didik Saya di bidang kepenulisan sejak dini. Yaitu dengan cara sederhana, membiasakan anak-anak menulis catatan di buku harian. Anak-anak dibebaskan menuliskan apa saja yang ada di pikiran mereka. Dari catatan di buku harian mereka, kemudian diangkat menjadi buku Aku Anak Awo’ ini. Pembiasaan membuat catatan harian seperti ini telah pernah dilakukan oleh seorang guru Sekolah Menengah Atas (SMA) di Amerika Serikat yang kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku dan diangkat menjadi sebuah film berjudul Freedom Writers. Dalam buku Freedom Writers tersebut, setiap siswa dalam satu kelas bebas menuliskan apa saja yang terjadi, terutama apa saja yang dialami siswa dalam keseharian.
Sedangkan mengenai pemilihan
judul buku ini dengan Aku Anak Awo’, hal tersebut berangkat dari satu
alasan. Yaitu karena semua siswa yang menulis di dalam buku ini tinggal dan
besar di Desa Awo’. Dalam bahasa Bugis, kata Awo’ berarti bambu,
sedangkan kata Awo’ oleh masyarakat di Desa Awo’ diartikan sungai.
Harapannya setelah munculnya tulisan dari anak-anak SD di pelosok ini, akan
muncul juga tulisan-tulisan baru dari siswa yang tinggal di daerah terpencil
lain dengan bermacam keterbatasan fasilitas.
Memang pada awalnya,
menanamkan pembiasaan menulis terhadap siswa tidaklah gampang. Apalagi
pembiasaan tersebut hampir belum pernah anak-anak lakukan sebelumnya. Oleh
karena itu, butuh kesabaran yang tinggi bagi seorang guru yang ingin
membiasakan anak didiknya menulis. Bahkan ketika di awal-awal Saya mengajak
anak didik Saya membuat sebuah tulisan, jawaban yang selalu muncul dari mereka
adalah kata-kata “A’dē kuissa pak” (Tidak bisa pak), “Aih pak,
maparri’” (Aih pak sulit). Bersyukur sekali dengan dorongan yang dilakukan
secara terus menerus, akhirnya anak-anak mau menuliskan juga. Sehingga jadilah
buku seperti yang ada di hadapan pembaca sekalian. Tentu kualitas tulisan
mereka masih perlu terus ditingkatkan.
Langkah pertama yang selalu
Saya katakan pada anak didik di kelas ketika akan berlatih menulis adalah
“Ketika kalian akan menulis, tulislah apa saja yang ada di pikiran kalian. Itu
saja. Gampang kan? Tidak usah peduli apakah tulisan kalian layak dibaca orang
lain atau tidak”. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh seorang penulis
terkenal, James Whitfield Ellison, ”Mulailah menulis, jangan berpikir. Berpikir
itu nanti saja. Yang penting menulis dulu. Tulis draf pertamamu itu dengan
hati. Baru nanti kamu akan menulis ulang dengan kepalamu. Kunci utama
menulis adalah menulis, bukannya berpikir.”
Ada banyak tantangan dalam
penyelesaian penyusunan buku ini. Beberapa tantangan yang dihadapi Saya ketika
mengumpulkan tulisan catatan harian siswa antara lain; Pertama, tidak
semua tulisan yang siswa buat berasal dari hasil karya mereka sendiri, akan
tetapi ada sebagian yang menyalin dari buku. Kedua, ketika siswa
diberikan satu buku catatan kosong, sebagian mereka lebih tertarik membuat
gambar, dari pada menuliskan rangkaian kata-kata. Ketiga, ada tulisan
yang sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Keempat, buku
catatan siswa seringkali rusak/hilang. Kelima, tidak semua guru bisa
menyambut baik hasil karya tulis siswa, dan lain-lain.
Dari beberapa tantangan
itulah, maka bagi seorang pendidik yang berkomitmen dengan pengembangan dunia
kepenulisan anak-anak, harus benar-benar memiliki perhatian yang besar. Guru
harus teliti mana tulisan yang dibuat siswa, mana yang bukan. Guru sebisa
mungkin selalu mengecek perkembangan kemampuan siswa dalam menulis. Seorang
guru butuh memberikan pelajaran bagaimana cara menulis yang baik, dari
pemilihan kata yang benar sampai pada menyusun kalimat yang runtut. Guru
meminta siswa agar menulis sendiri secara jujur. Terakhir yang tak kalah
pentingnya adalah meyakinkan siswa, pendidik dan orang tua bahwa anak-anak memiliki
bakat dan potensi untuk menulis.
***
Dalam mendidik siswa agar
bisa menulis, jangka waktu yang dibutuhkan antara satu siswa dengan yang
lainnya tentu berbeda-beda. Ada siswa yang hanya dijelaskan sebentar, sudah
bisa paham dan langsung mempraktekkan. Ada lagi yang sangat lama, bisa saja
butuh waktu berminggu-minggu, sampai berbulan-bulan, baru kemudian bisa
mempraktekkan. Oleh karena itu, seorang guru harus selalu punya energi yang
banyak untuk mengasah potensi dan bakat anak didiknya. Seorang guru yang
memiliki kesungguhan hati untuk terus melatih, bersungguh-sungguh dalam proses,
tanpa takut akan kegagalan. Karena kegagalan sendiri adalah pintu menuju
kesuksesan.
Kalau kita lihat. Beberapa
orang terkenal dalam kepenulisan di Indonesia seperti Goenawan Mohamad, Rendra,
Kuntowijoyo, Umar Kayam, Gus Dur, Gus Mus, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib
dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah
lelah dalam mengasah kemampuannya di bidang kepenulisan ketika awal-awal mereka
menjadi seorang penulis. Seandainya ketika di awal-awal mereka belajar menulis
kemudian menyerah, pastilah mereka tidak akan menjadi penulis yang baik seperti
yang kita kenal sampai detik ini.
Dari situ, timbul pertanyaan
penting kemudian. Sudahkah kita mengasah bakat dan potensi anak didik kita
dengan baik? Sudahkan kita mengasah bakat dan potensi diri kita sendiri dengan
baik? Atau pertanyaan yang tak kalah pentingnya, sudahkah kita yakin bahwa anak
didik kita atau diri kita memiliki bakat dan potensi, terkhusus di bidang
kepenulisan?.
Pertanyaan ini butuh kita
jawab bersama-sama sebagai pribadi yang telah diberikan bakat dan potensi oleh
Tuhan. Sebelum semuanya terlewati begitu saja tanpa kesadaran yang mendalam.
Mungkin saja ada yang memiliki bakat dan potensi lain yang sangat menonjol,
seperti menyanyi, menari, bermain bulu tangkis, bola voli, sepak bola, catur,
sampai kepada bakat dan potensi berhitung. Itu semua butuh diasah. Semua bakat
dan potensi yang beragam tersebut apabila didukung dengan kemampuan menulis,
pastinya akan lebih baik, agar bisa mengajarkan kepada orang lain yang lebih
banyak.
Kuncinya, jika ingin
mengajarkan anak didik menjadi penulis yang handal. Tinggal disuruh latihan dan
latihan. Suatu waktu, kesuksesan pasti bisa diraih dari hasil latihan yang
dilakukan secara berkesinambungan. Jika ada dari pembaca sekalian yang masih
bingun dimana letak bakat Anda yang harus diasah. Saya akan bercerita beberapa
hal tentang pencarian bakat dan potensi pada diri Saya pribadi. Terutama di bidang
kepenulisan. Begini ceritanya. Sewaktu Saya sekolah di jenjang SMA sampai lulus
tahun 2006, bahkan jauh sebelum itu, sejak masih SD, Saya berpikir bahwa Saya
tidak ada bakat dan potensi di bidang tulis-menulis. Padahal, waktu Saya SMA
sudah lumayan senang membaca buku di perpustakaan.
Saya mulai berlatih menulis
ketika Saya tinggal di Yogyakarta. Tepatnya pada pertengahan tahun 2007, yaitu
setahun sebelum menempuh perkuliahan. Saya belajar menulis di Pondok Pesantren
Hasyim Asy’ari Yogyakarta. Pondok pesantren ini menampung mahasiswa dari
golongan kurang mampu secara finansial, atau mahasiswa yang memilih jalan
kemandirian. Pengasuh yang ada di pondok pesantren tersebut adalah Zainal
Arifin Thoha (almarhum), ia mengharuskan mahasiswa mencari uang sendiri untuk
kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya untuk kuliah. Salah satu jalan
kemandirian yang ditempuh oleh para santrinya yaitu dengan mencari honor lewat
menulis di media massa. Sebelum tulisannya mampu tembus di media massa, para
santri ada yang menjadi pengamen, loper koran, berjualan di angkringan dan
berjualan dengan asongan. Saya sendiri pernah menjadi loper koran dan membantu
seseorang berjualan buku, keliling di beberapa kota.
Berkali-kali Saya menulis
puisi. Tidak ada satu pun media yang memuatnya. Suatu waktu Saya bertanya-tanya
pada diri pribadi apa yang membuat puisi Saya tidak dimuat, mungkin saja karena
Saya menggarapnya tidak serius. Akhirnya Saya menekuni tulisan resensi buku.
Resensi Saya, pertama kali dimuat pada koran Lampung Pos akhir tahun 2007.
Kemudian berlanjut dimuat pada koran Seputar Indonesia, Media Indonesia, Bali
Post, Koran Jakarta, Bernas Jogja, Majalah Flamma, Malajah Suluh dan juga
tulisan yang dimuat dalam bentuk buku kompilasi dan terakhir menulis buku
berjudul Peace Education tahun 2012.
Bagi Saya, dalam menulis
butuh rasa percaya diri dan optimisme yang besar. Meskipun sebagian teman Saya
beranggapan bahwa tulisan Saya tidak bagus, tetap saja Saya kirim ke media
massa. Saya tidak tahu sudah berapa tulisan yang ditolak redaksi media massa,
tapi Saya tetap memberanikan diri terus mengirim dan meningkatkan latihan.
Bahkan mungkin sampai mereka orang redaksi merasa kasihan dengan Saya. Itulah
sedikit cerita bagaimana Saya mengasah dunia kepenulisan hingga akhirnya
tulisan Saya bisa dimuat di koran dan berhasil menulis buku.
Terakhir, sekali lagi Saya
ingin tegaskan, bahwa setiap anak memiliki bakat dan potensi untuk menulis,
siapa pun itu. Tidak ada kata terlambat untuk memulai menulis. Untuk itu,
sebagai pendidik, mari bersama-sama mengasah bakat dan potensi menulis anak
didik kita mulai dari sekarang. Setidaknya dengan menulis, kita bisa berdakwah
dan mengajar orang lain lewat tulisan yang kita buat. Mengutip perkataan
Al-Ghazali, “Kalau Engkau bukan anak raja dan Engkau bukan anak ulama besar,
maka jadilah penulis”.
Awo’, 2 Mei 2013
Komentar