Membumikan Peace Education
Bersama Anak-anak SD Korban Letusan Merapi |
“Peace does not come with our
DNA. To reach peace we need to teach peace.” (Core Weiss)
Konflik yang berbau kekerasan dalam
masyarakat Indonesia, menjadi satu kata yang seringkali akrab di telinga. Ia
menjadi sebuah keniscayaan yang secara sadar atau tidak, akan selalu
menggerayangi, menghantui kehidupan masyarakat. Ia ada di sekitar rumah,
lingkungan sekitar, bahkan di mana-mana. Ia muncul di tayangan-tayangan
televisi, radio-radio, berita-berita internet, media massa dan surat kabar,
yang tidak bosan-bosannya menampilkan berbagai tayangan atau berita kekerasan,
dari masalah pembunuhan, pemerkosaaan, perkelahian, kekerasan terhadap
perempuan, teror bom, hingga konflik sosial-keagamaan dengan latar belakang
alasan yang begitu beragam.
Secara teoritis, kekerasan mencakup
kekerasan simbolik, kekerasan psikologis, maupun kekerasan fisik. Sebagian kita
mungkin tidak sadar bahwa dalam banyak kehidupan, kita seringkali menghadapi
dan mengalami kekerasan simbolik baik di rumah, lingkungan sekitar, tempat
kerja, dan sebagainya, yang pada gilirannya akan mengantarkan kepada kekerasan
psikologis, lalu kekerasan fisik. Kekerasan simbolik seperti ini adalah
kekerasan yang halus, tidak kasat mata, dan hampir tidak nampak, karena
diselubungi oleh ideologi yang membuat kekerasan itu seolah-olah wajar. Ini
banyak sekali, misalnya, dilakukan terhadap perempuan di dalam masyarakat
patriarkal, secara ideologis mereka dianggap lebih rendah, seolah-olah hak
mendominasi mereka menjadi hak laki-laki.
Berbagai kasus kekerasan dan konflik yang mewarnai
perjalanan bangsa Indonesia, dari konflik berdarah di Sambas, Sampit, Ketapang,
Ambon, Poso hingga di berbagai wilayah lain di Indonesia, begitu pula dengan
radikalisme agama yang seringkali menggunakan kekerasan sebagai alat untuk
mencapai tujuannya, seperti teror bom, pembakaran, dan sebagainya, tentunya
memerlukan penanganan yang tepat. Dalam kenyataannya, telah banyak upaya
dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik-konflik ini, dari seminar-seminar
tentang pencarian solusi konflik hingga dialog-dialog antar pemuka agama yang
berbeda.
Peace Education Sebuah
Alternatif
Sebuah solusi untuk menanggulangi
terjadinya konflik pada masa mendatang, yaitu melalui pendidikan. Tentu saja,
jawaban yang diharapkan adalah pendidikan yang mengangkat perdamaian dan
toleransi, bukan yang membakar kemarahan dan kecurigaan. Ungkapan menarik Maria
Montessori “avoiding war is a work of politics, establishing peace is a work
of education”. Inilah yang kemudian disebut dengan peace education.
Peace education
adalah sebuah upaya instuksional yang dapat menyumbangkan dan menciptakan warga
negara yang baik di dunia ini (Harris, 1996). Prosesnya bersifat
transformasional dan ia merupakan serbuah filsafat yang mendukung dan
mengajarkan antikekerasan sebagai alat untuk menjaga dan memelihara kehidupan
dan lingkungan. Ia menyediakan alternatif-alternatif melalui pengajaran tentang
sebab-sebab kekerasan dan memberikan kepada peserta didik pengetahuan tentang
isu-isu kritis peace education: peace keeping (pemeliharaan
perdamaian), peace making (penciptaan perdamian), dan peace building (pembentukan
perdamaian).
Bangunan Peace Education
Peace education mengindikasikan
sebuah proses pembelajaran dan penanaman sikap-sikap mental yang mengedepankan
nilai-nilai positif anti kekerasan dalam menghadapi setiap permasalahan sosial
keagamaan dalam masyarakat. Pendidikan ini tentunya mengubur dalam-dalam sikap
egoistik, tetapi sebaliknya mengedepankan kepentingan seluruh masyarakat
daripada kepentingan individual atau kelompok untuk mencapai suatu kondisi
harmonis di kalangan anggota masyarakat.
Peace education perlu
dibangun dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Di antara
nilai-nilai yang bisa dijadikan sebagai bahan dasar adalah nilai-nilai yang
diambil dari agama, budaya dan juga hak-hak asasi manusia yang universal.
Berkenaan dengan pertama, hampir dalam semua agama di dunia, mengajarkan
prinsi-prinsip nirkekerasan. Dalam Islam, prinsip ini begitu jelas sebagaimana
disinyalir oleh sebuah hadis yang kemudian dijadikan sebagai kaidah fikih yang
sangat vital, yaitu la darra wa la dirar. Dalam Hindu, prinsip ini
dikenal dengan nama ahimsa, yang berarti nir-kekerasan. Bahkan ahimsa
ini merupakan sifat khusus dalam agama ini. Dalam agama-agama lain, seperti
Jainisme dan Budhisme, juga terdapat doktrin tentang nir-kekerasan. Dalam
tradisi Budhisme, misalnya, prinsip nir-kekerasan memproyeksikan sebuah
cita-cita perdamaian universal, yaitu dapat diperluas menjadi mencakup ide hati
atau pikiran yang damai.
Bangunan dasar kedua adalah
nilai-nilai budaya. Istilah budaya, dalam konteks ini, merujuk kepada satu
praktik dan kebiasaan masyarakat yang baik, yang telah diterima oleh masyarakat
secara konsensus dan bersifat universal, tidak hanya menguntungkan satu pihak
atau kelompok tertentu. Indonesia, dengan beragam kelompok etnik dan budaya
ini, adalah sangat kaya dengan nilai-nilai budaya yang khas. Hampir semua
kelompok etnik yang ada memiliki budaya tersendiri, yang masing-masing dari
mereka mungkin memiliki kesamaan atau perbedaan budaya satu sama lainnya.
Terakhir, bagunan dasarnya adalah
hak-hak asasi manusia. Hak-hak ini merupakan esensi dari manusia itu sendiri,
sebagaimana ditegaskan oleh Jose Diokono, dikutip oleh Doreen G. Fernandez , “Human
rights are more than legal concepts; they are the essence of man. They are what
makes man human. That is why the are called human rights; deny them you deny
man’s humanity”. Hak asasi manusia ini mencakup hak untuk hidup,
kehormatan, dan mengembangkan diri sendiri. Atau, lebih luas lagi ia mencakup
apa yang disebut dengan al-kulliyyat al-khamsah (pemeliharaan atas
agama, jiwa, akal, keturunan dan kehormatan).
Semua bangunan nilai di atas perlu
disosialisasikan dalam bentuk pembelajaran di institusi-institusi pendidikan,
dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi, atau bahkan pada
institusi-institusi pendidikan non-formal di masyarakat. Ini tidak lah berarti
bahwa harus dimasukkan satu mata pelajaran atau mata kuliah tentang peace
education secara khusus, tetapi bagaimana nilai-nilai nir-kekerasan atau
perdamaian, yang terambil dari ajaran agama, budaya, dan hak asasi manusia,
bisa masuk ke seluruh mata pelajaran yang ada. Disamping itu, perlu juga
dirancang metode pembelajaran yang transformatif, yang lebih mengedepankan
pencapaian titik persamaan atau titik temu pada masing-masing agama atau budaya
lain.
Komentar
Salam knal mas nurul..saya danis dwi ..mahasiswa prodi kebijakan pendidikan UNY..
Saya sedang concern skripsi ttg Peace Education..bsakah saya mnta CP mas nurul? Untuk saling share...
E-mail : dannizdr@gmail.com
Terima kasih mas..