Royal Wedding Jogja: GKR Bendara dan KPH Yudanegara
KPH Yudanegara dan GKR Bendara Melambaikan Tangan Kepada Masyarakat |
Selasa 18 Oktober 2011 menjadi puncak kebahagiaan pasangan antara GRAj
Nurastuti Wirajeni yang bergelar GKR Bendara dengan Achmad Ubaidillah yang
bergelar KPH Yudanegara. Selain disaksikan keluarga kraton Sri Sultan, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani serta Wapres Budiono dan Ibu Herawati, mantan
presiden/wapres, menteri dan ribuan pasangan tamu undangan lain termasuk 40
raja Nusantara yang memenuhi pelataran Bangsal Kencana menyaksikan secara
langsung proses pernikahan keduanya. Ijab kobul yang dilaksanan pada pukul 07.20
WIB berlangsung selama tiga menit di Masjid Panepen Kraton, menandakan sepasang
kekasih yang resmi menjadi sepasang suami isteri.
Setelah perhelatan prosesi pernikahan selesai. Selanjutnya dilakukan iring-iringan
kirab. Rombongan kirab pasangan pengantin GKR Bendara dan KPH Yudanegara
berangkat dari Keben sekitar pukul 15.50 WIB dan sampai pada tujuan di
Kepatihan sekitar 17. 40 WIB. Karena padatnya pengunjung yang berdatangan dari
berbagai penjuru kota, akhirnya rombongan kirab berjalan dengan sangat pelan. Panitia
yang memperkirakan durasi kirab pasangan pengantin akan tepat waktu, ternyata
jarak tempuh yang hanya 1,5 km bisa sampai lebih dari satu jam. Sebagai pihak
yang menyambut kedatangan pengantin di Kepatihan adalah GKR Pembayun dan KGPH
Hadiwinoto.
Para Pasukan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat |
Ribuan masyarakat menyemut dari sepanjang ruas jalan yang menghubungkan
Kraton Ngoyogyakarta Hadiningrat hingga Bangsal Kepatihan, yaitu antara Keben
hingga jalan Malioboro. Mereka melihat kedua mempelai melambaikan tangan
diiringi taburan senyum manis pasangan pengantin puteri bungsu Sri Sultan
Hamenku Buwono X. Masyarakat sudah sejak siang menantikan iring-iringan lima
kereta kuda tersebut yang membawa rombongan pengantin. Decak kagum tak henti-hentinya
terdengar ketika pasangan pengantin GKR Bendara dan KPH Yudanegara menampakkan
wajahnya ke arah mereka di Kereta Kyai Jong Wiyat. Arti dari nama kereta tua
peninggalan Sultan Hamengku Buwono VII ini adalah perahu angkasa.
Masyarakat Rela Berdesakan
Kedua pasangan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara Wijareni dengan Kanjeng
Pangeran Haryo (KPH) Yudhanegara menaiki kereta pusaka yang berada di urutan
kedua setelah Kereta Kyai Kus Ijem atau Landower yang dinaiki oleh pengantin
GBPH Yudhaningrat dan GBPH Condrodiningrat. Setelah kereta Jong Wiyat di
belakangnya menyusul Kyai Roto Biru, Kyai Landower Surabaya dan Kyai Permili. Dua bregada
prajurit Kraton berada di barisan depan, yaitu Bregada Wirabraja dan Bregada
Ketanggung. Dua Bregada prajurit ini melewati ribuan masyarakat yang menonton. Rombongan
kirab terdiri dua bregada prajurit, lima kereta kuda dan empat belas kuda yang
ditunggangi penari Lawung Ageng. Kirab berjalan tersendat-sendat, bahkan di beberapa titik,
terpaksa berhenti karena masyarakat yang menonton sangat padat-berjubel.
Wartawan dari Salah Satu Stasiun Televisi Sedang Meliput Kirab |
Di pinggir-pinggir jalan, sejumlah orang yang berasal dari lingkungan
masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya tumpah di sekitaran Malioboro, mereka rela
menaiki tiang lampu, pagar, berdiri di atas bangunan, dan toko-toko. Mereka tidak
takut meski berada pada ketinggian hanya karena ingin melihat kirab pengantin
dengan sepuasnya. Pada kesempatan itu juga, masyarakat disuguhkan dengan
berbagai kesenian se-DIY dan sejumlah kesenian dari beberapa daerah lain
seperti group reog, tarian Caci, tari Dayak, tari Kontemporer, Jathilan
Kulonprogo, dan Ketomprak dari Yogyakarta. Di beberapa titik jalan, tim
keamanan merasa kesulitan untuk sedikit melebarkan lorong perjalanan kereta
yang digunakan pasangan pengantin untuk sampai ke tempat tujuan. Beberapa tim
keamanan membuka akses untuk jalan dengan susah payah, masyarakat yang awalnya
berada di belakang kemudian memilih saling berdesak maju agar bisa melihat
lebih dekat.
Ribuan Masyarakat Memadari Kawasan Maliboro |
Semuanya nampak bahagia. Kebahagiaan ini tentu tidak hanya dirasakan oleh
kerabat Kraton sendiri, tapi juga masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Mereka
mendapatkan makanan gratis di 200 angkringan yang tersedia di sepanjang jalan
Malioboro. Masyarakat di situ, turut larut dalam pesta pernikahan putri bungsu
Sri Sultan HB X. Begitu gerobak angkringan, mei ayam, bakso, jagung bakar dan
wedang ronde mulai dibuka, ribuan orang yang tumpah ruah menyerbu makanan
tersebut yang secara khusus disediakan. Dalam hitungan jam bahkan hitungan
menit makanan-minuman pun habis tidak tersisa. Bisa saja, karena saling
berdesak-desakan menyaksikan prosesi pernikahan membuat masyarakat lapar dan
haus. Berbagai macam makanan minuman di angkringan seperti nasi kucing, kerupuk,
mendoan, tahu, tempe, es teh tadinya bisa didapat. Sedang para penjaga gerobak
dengan senang hati melayani dengan mengenakan pakaian khas Jawa yang dilengkapi
dengan blangkon.
Demikianlah, bahwa adat pernikahan yang begitu luhur, khidmad, khusuk, dan
adiluhung ini perlu tetap dilestarikan sebagai bentuk kekayaan budaya Indonesia
yang khas. Semoga jalinan pernikahan antara keduanya akan membentuk keluarga
sakinah, mawaddah wa rakhmah. Akhirnya, Saya sangat bersyukur bisa meliput
secara langsung dari dekat prosesi pernikahan sepasang pengantin dari orang tua
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan DKR Hemas serta Jusami Ali Akbar dan Nurbaiti
Helmi, mungkin saja gara-gara saya dikira wartawan media massa sehingga petugas
mempersilakan. Tentu, pekerjaan ini saya lakukan sebagai bentuk apresiasi saya
terhadap ragam budaya Indonesia.
Komentar