Tradisi Begalan; Simbol Tanggung Jawab Moral Masyarakat
Tradisi begalan
adalah bagian dari rangkaian upacara perkawinan adat Banyumas yang dilakukan
apabila perkawinan itu terdiri dari pasangan anak sulung dengan anak sulung,
anak sulung dengan anak bungsu dan anak bungsu dengan anak bungsu. Tradisi
berbentuk kesenian yang berupa perpaduan antara seni gerak, seni bertutur dan gendhing banyumas ini menggunakan brenong kepang (perkakas dapur) dan alur
permainan sebagai simbol.
Simbol-simbol berupa alat
dapur yang ada dalam begalan
mengandung dua unsur makna, yaitu sebagai simbol bajang sawan (godaan dan gangguan) yang akan merintangi
perjalanan hidup kedua mempelai. Di samping itu brenong kepang disebut juga mengandung makna tentang tata
cara berkehidupan dalam sebuah rumah tangga yang baik. Sedang alurnya
menggambarkan bagaimana bajang sawan tersebut
dihilangkan dengan jalan dirampas, yang kemudian diperebutkan oleh para
penonton atau tamu undangan untuk mengambil manfaat dari barang-barang
tersebut. Simbol-simbol dalam begalan
ini bertujuan untuk menghilangkan bajang
sawan yang akan merintangi perjalanan hidup kedua mempelai.
Ada beberapa versi tentang
awal kemunculan tradisi begalan.
Menurut Suhardi (2001), yang paling banyak dipercaya oleh masyarakat adalah
peristiwa Adipati Banyumas ketika hendak ngundhuh
penganten. Setelah putra sulung Adipati Banyumas bernama pangeran
Tirtokencono menikah dengan putri bungsu Adipati Wirasaba bernama Dewi Sukesi,
Adipati Banyumas bermaksud memboyong kedua mempelai ke Banyumas, kedua mempelai
kembali ke Banyumas dikawal oleh para Sentana Kadipaten.
Perjalanan dilakukan dengan
jalan kaki, karena keadaan jalan masih sukar dilalui, apalagi harus menyeberang
sungai Serayu, rombongan memasuki daerah hutan yang lebat. Di tengah perjalanan
tiba-tiba rombongan dihadang perampok, terjadilah perkelahian antara pengawal
dan pembegal, akhirnya kemenangan ada dipihak pengawal rombongan pengantin.
Rombongan pengantin kembali melanjutkan perjalanan ke Banyumas.
Sejak saat itu sesepuh
Banyumas berpesan, apabila mengawinkan anaknya yang sulung mendapatkan anak
bungsu, seyogyanya diadakan begalan,
supaya pasangan pengantin selamat dari segala macam gangguan dalam perkawinan
mereka. Oleh generasi berikutnya begalan
tidak hanya dilakukan untuk perkawinan antara anak sulung dengan anak bungsu,
akan tetapi antara anak sulung dengan anak sulung dan anak bungsu dengan anak
bungsu. Barangkali naluri yang tertanam dalam diri masyarakat menganggap
pasangan hidup tersebut, mengandung resiko hidup yang lebih tinggi, sehingga
perlu persiapan yang serius untuk menghadapinya.
Awalnya begalan merupakan upacara yang bersifat
sakral, yang mengandung kepercayaan apabila tidak dilaksanakan akan
mendatangkan malapetaka bagi pengantin dan keluarganya. Hal yang tidak dapat
dilepaskan dari sistem ritual-ritual kejawen adalah berbagai sistem sesajen.
Sebelum begalan dimulai,
terlebih dahulu orang yang bertugas dalam upacara membaca mantra-mantra.
Kemudian bersama dengan uba rampe yang
lain, sesajen itu diletakkan di pojok Rumah.
Suatu tradisi dengan
sendirinya tentu berubah sesuai dengan alam, zaman, kecerdasan, dan pengetahuan
masyarakat serta penghayatannya terhadap agama. Tradisi begalan juga mengalami hal demikian. Begalan yang tadinya dilaksanakan dalam
kesederhanaan kini mengalami peningkatan baik dari segi penyampaian maupun
kualitas orang yang membawakan.
Namun demikian bukan
berarti tradisi ini mulai ditinggalkan orang. Proses alamiah manusia yang
selalu mengalami perubahan dan perkembangan, menyebabkan selalu ada penemuan-penemuan
baru dan kesimpulan-kesimpulan baru terhadap persoalan-persoalan yang
melingkupinya. Seiring dengan kondisi yang demikian, begalan yang dilaksanakan oleh masyarakat
mengalami pergeseran makna. Hal ini bisa dilihat dalam upacara-upacara begalan yang ada dilingkungan kecamatan
Pekuncen, banyak yang tidak menyertakan sesajen.
Pada jaman dahulu, begalan sebenarnya hanya dilaksanakan
oleh para demang dan keluarganya. Demikian juga di Pekuncen, keluarganya di
Desa Perdikan Pasiraman Kidul dan Pasiraman Lor. Seorang demang waktu itu
memiliki wewenang mutlak untuk mengelola daerahnya, bahkan tanah di daerah
tersebut menjadi milik demang. Rakyat hanya berhak untuk menempati dan
mengeloh, tidak berhak untuk memiliki. Meskipun terkesan feodal, perhatian
demang Pasiraman Kidul dan Pasiraman Lor terhadap kesejahteraan rakyatnya
sangat tinggi.
Lama kelamaan tradisi ini
dilakukan oleh masyarakat diluar kademangan. Sebagai salah satu budaya, begalan mudah masuk dalam suatu
masyarakat, hal ini disebabkan karena sifat budaya yang memasyarakat. Ditambah
lagi masyarakatnya paternalistik, mereka tidak segan-segan untuk meniru sesuatu
yang dilakukan oleh pemimpin mereka, karena apapun yang dilakukan pemipmpin
mereka anggap baik.
Begalan yang saat ini dilakukan oleh warga Pekuncen
kebanyakan dalam rangka nguri-uri kebudayaan.
Ada semacam tanggung jawab moral dalam diri masyarakat untuk menjaga dan
melestarikan warisan nenek moyang. Disamping itu tradisi begalan dianggap positif. Dalam tradisi
yang berbentuk seni ini, di dalamnya terdapat nasehat-nasehat yang diperlukan
bagi orang yang hendak menempuh hidup berkeluarga maupun warga masyarakat yang
lain.
Komentar