Acara Adat Babat Dalan Sodo
Kebudayaan merupakan hasil
dari kreatifitas manusia yang didasari oleh daya cipta, rasa, karsa dan budi
nurani. Pikiran dan perbuatan manusia yang dilakukan secara terus-menerus pada
akhirnya menjadi sebuah tradisi. Budaya sebagai hasil tingkah laku manusia atau
kreasi manusia memerlukan alat penghantar untuk menyampaikan maksud. Medium itu
dapat berbentuk bahasa, warna, benda, suara, tindakan, yang kesemuanya itu
merupakan simbol-simbol dalam budaya.
Seperangkat simbol dalam suatu upacara keagamaan, hakekatnya bermakna
sebagai pengatur tingkah laku disamping berfungsi sebagai sumber upacara
keagamaan, dapat pula dikatakan sebagai sarana komunikasi dan bahkan sarana
sosialisasi pada masing-masing upacara. Upacara adat Babat Dalan Sodo di Desa
Sodo Paliyang Gunung Kidul Yogyakarta mempunyai arti penting bagi masyarakat di
Desa Sodo, mereka percaya agar seluruh warga Desa diberi keselamatan dan
dijauhkan dari bencana yang akan mengancam.
Masyarakat memberikan rasa apresiatif atas diselenggarakannya tradisi
upacara adat Babat Dalan Sodo karena upacara adat ini disamping sebagai pesta
menghibur masyarakat, juga mampu memupuk dan mempertahankan rasa kebersamaan,
persatuan, dan kesatuan. Juga terkesan bahwa masyarakat Desa Sodo masih tetap
ingin melestarikan budaya nenek moyangnya secara turun-temurun.
Upacara adat ini dilaksanakan setiap tahun sekali secara turun-temurun
tepatnya setelah masa panen padi pada malam jumat kliwon dengan bulan tak
menentu. Adapun di dalam pelaksanaanya dipergunakan berbagai macam simbol
makanan yang penuh dengan makna.
Sesuai namanya, upacara adat Babat Dalan Sodo merupakan upacara untuk
membersihkan Desa dari segala jenis bahaya dan bencana. Babat berarti ngresiki atau ngrumati
(membersihkan atau memelihara). Dalan berarti
tempat untuk lewat atau jalan. Sebenarnya pada awalnya yang dikerjakan untuk
dibersihkan adalah jalan antara Desa Giring sampai dengan Desa Sodo tepatnya
dari Watu Jagong sampai Makam Kyai Ageng Giring III di Desa Sodo, yang pada
waktu itu memakan waktu satu bulan lebih.
Kemudian kegiatan seperti ini dilestarikan setiap tahun sampai sekarang.
Kegiatan ini berkembang yang dahulunya hanya membersihkan jalan dari Watu
Jagong sampai Makam Kyai Ageng Giring III, sekarang hampir semua jalan besar
ataupun kecil di wilayah Desa Sodo juga ikut dibersihkan bersamaan dengan waktu
pelaksanaan upacara adat Babat Dalan Sodo. Menurut keyakinan sebagian besar
masyarakat Desa Sodo upacara ini dapat membersihkan keadaan lingkungan yang
dijaga oleh roh-roh halus, agar roh-roh itu tidak marah dan tidak mendatangkan
bencana maka perlu dihormati dan dikirim do’a lewat pelaksanaan upacara Babat
Dalan Sodo.
Bagi masyarakat Desa Sodo yang sebagian besar masyarakatnya hidup
sebagai petani, upacara adat Babat Dalan Sodo dihubungkan dengan fungsi tanah
bagi kehidupan mereka. Selain mempunyai fungsi ekonomis yang dikarenakan
tanahnya merupakan tempat usaha mereka dalam berproduksi dan merupakan sumber
pokok bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Desa Sodo tersebut, upacara ini
juga ditujukan kepada penguasa alam agar memberikan berkah yang melimpah pada
tempat tinggal mereka dan tanah pertaniannya menjadi subur dan dapat memberikan
hasil.
Dilaksanakannya upacara selain sebagai wujud syukur atas hasil panen
juga karena pada zaman dahulu Desa Sodo dan Giring mengalami musibah “pagebluk”
dan ini berlangsung sampai bertahun-tahun. Dengan adanya musibah tersebut
masyarakat Sodo dan Giring mempunyai nadzar apabila musibah yang diderita dua
Desa tersebut dapat diatasi maka warga Desa mengadakan syukuran.
Upacara adat Babat Dalan Sodo dalam pelaksanaannya didukung oleh
unsur-unsur upacara yang antara lain berupa sesaji. Sesaji dalam upacara ini
merupakan hal yang penting sebagai pelengkap dalam pelaksanaan upacara.
Diantara sesajinya yaitu tumpeng lancip satu pasang, sekar telon, lauk-pauk,
minuman air putih satu gelas dan penerang lampu ting, sesaji ini kemudian
diletakkan disalah satu senthong kamar diatas meja kecil. Sedangkan warga
masyarakat yang datang untuk mengikuti acara kenduri diharuskan membawa weton
yaitu nasi uduk beserta inkung
(seekor ayam yang sudah dimasak) diletakkan dalam satu tempat yaitu pengaron (terbuat dari tanah liat).
Selain mempergunakan sesaji sebagai pelengkap dalam pelaksanaan upacara,
juga mempergunakan berbagai macam makanan yang penuh dengan simbol dan bermakna
simbolik yang kemudian makanan tersebut dikenal dengan nama ambeng. Sedangkan acaranya berkumpul
bersama disuatu tempat yang telah ditentukan sebagai pusat upacara untuk
kemudian mengadakan kenduri tersebut dengan kepungan. Tiga istilah tersebut
yaitu kepungan, kenduri, dan ambeng merupakan acara inti dalam pelaksanaan
upacara adat Babat Dalan Sodo dan harus diikuti oleh kaum laki-laki yang
menjadi wakil dari keluarga yang ada di Desa Sodo.
Adapun ambeng itu terdiri dari tumpeng alus, tumpeng mong, jenang
abang-putih, jenang boro-boro, sekul suci ulam sari, sekul paro bathok bolo,
sekul punjang, dan sekar ponyoh. Bagi masyarakat yang hadir apabila menghendaki
diperbolehkan membawa nasi ambengan meskipun mereka datang dari jauh dan mereka
tidak membawa sewon. Hal ini sering disebut ngalap berkah (mencari berkah).
Upacara kenduri dipimpin oleh seorang modin ataupun penggantinya yang dianggap
mampu melaksanakan tugas tersebut.
Upacara adat Babat Dalan Sodo adalah sebuah kekayaan budaya yang
dimiliki Indonesia haruslah diakui, diabadikan sebagai kebudayaan sendiri.
Tetapi yang terjadi sekarang ini generasi muda seakan melupakan budaya bangsa
sendiri dan menerima budaya bangsa lain secara subjektif yang mana nilai-nilai
budaya tersebut terkadang bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa kita,
sehingga akhirnya menolak kebudayaan yang berlaku pada daerah sendiri. Oleh
karena itu diharapkan pada generasi muda untuk menghormati, mengakui, cinta dan
tetap mengabadikan budaya sendiri sehingga nilai-nilai yang ada di dalamnya
tetap terpelihara dan terhindar dari budaya tandingan yang sifatnya mencemooh
dan menolak terhadap nilai-nilai budaya yang berlaku.
Komentar