Kiat Memilih Wakil Rakyat 2009
Pada tanggal 9
April 2009, kita akan melangsungkan pemilu tahap pertama, memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
secara serentak untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Demi masa depan bangsa yang adil dan
sejahtera, dan dalam rangka mengembangkan estetika politik di republik ini,
bagaimanakah kita memilih caleg secara cedas-demokratis sehingga mereka dapat
mempertanggungjawabkan tugas kepada rakyat, dan bukan menjadikan rakyat sebagai
tumbal bagi diri mereka sendiri? Kita itu mesti mencermati setiap kali kita
harus memilih wakil rakyat, sampai kapan pun.
Harus diakui,
ketika kita menyelenggarakan proses pemilu secara langsung, cara dalam proses
pemilu saat ini belum terlalu banyak tersosialisasikan kepada rakyat! Proses
itu menuntut perhatian lebih dan pemahaman yang cerdas terhadap mekanisme yang
harus dijalankan dengan baik oleh masyarakat yang sudah memilih hak pilih.
Maka, dibutuhkan kiat yang tepat agar bangsa ini tidak semakin bangkrut akibat
para wakil rakyat yang sesat, yang ujung-ujungnya menipu rakyat!
Sebagaimana diatur
dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, pemilu untuk
memilih anggota DPR, DPRD, Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan
dengan sistem proporsional terbuka murni terbatas. Itu berarti caleg terpilih
adalah mereka yang memperoleh suara 30 persen dari angka BPP (bilangan pembagi
pemilih) dan tidak langsung ke nomor urut. Berbeda dengan sistem pemilu 2004
lalu versi UU No. 12/2003 dimana sistem penentuan caleg terpilih telah
mendistorsi suara rakyat. Sebab, calon yang mendapatkan suara terbesar belum
tentu terpilih sebagai anggota legislatif karena bila caleg tersebut tidak
memenuhi bilangan BPP.
Cerdas, Visoner, Demokratis
Menyadari betapa
pemilu mempunyai fungsi strategis dalam membangun masa depan bangsa, sebaiknya
kita merenungkan kiat memilih caleg secara cerdas, visioner, dan demokratis.
Inilah tanggung jawab civil society sebagai penentu masa depan bangsa untuk
menggunakan kecerdasannya dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara
secara demokratis.
Dalam hiruk pikuk
euforia reformasi pascakeruntuhan rezim Orde Baru sampai sekarang, tidak mudah
bagi kita menentukan pilihan terhadap para wakil rakyat yang akan
memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian bagi kehidupan bersama.
Khususnya, dalam pemilihan caleg di Pemilu 2009, tidak mudah bagi kita untuk
menentukan pilihan yang cerdas, visioner dan demokratis. Dibutuhkan kecerdasan
untuk membuat strategi memilih caleg yang tepat demi masa depan republik ini.
Pertema-tama, sebaiknya diverifikasi apakah seorang
caleg lebih cenderung tampil sebagai politikus ataukah negarawan. Caleg
berkarakter politikus adalah bila mereka berpikiran sempit dan punya target
jangka pendek, entah satu atau maksimal lima tahun ke depan. Caleg politikus
biasanya cuma berpikir tentang the eceltion
an sich maupun the next
election.
Kedua, caleg yang politikus biasanya berorientasi
pada kekuasaan. Kekuasaan menjadi komoditas. Mereka rela bersaing menjadi caleg
dengan dibela-belain mengeluarkan
jutaan atau puluhan juga rupiah karena berharap, setelah terpilih sebagai
legislator, semua modal itu akan kembali plus keuntungannya. Logika itu
dianggap sah, sebab setelah berjerih payah mengeluarkan modal mereka merasa
berhak dan wajib mendapatkan kekayaan berlimpah. Dengan demikian, proses bersaing
menjadi caleg tidak lebih dari komoditas bisnis yang laris manis, tak peduli
nantinya rakyat menangis.
Ketiga, banyak data dan fakta mengungkapkan bahwa
perilaku para wakil rakyat kita selama ini tidak peduli pada nasib bangsa
sebagai keseluruhan dan keutuhan. Sering terdengar sinyalemen bahwa mereka
tidak lebih dari penjarah uang rakyat dan pengeruk harta negara. Penyakit akut
korupsi sudah built in dalam
perencanaan pembangunan yang mereka buat sendiri. Hal itu pun masuk dalam
kategori caleg yang politikus. Maka, karakternya seperti tikus, suka
menggerogoti lumbung negara dan kesejahteraan rakyat.
Jangan Pilih yang Busuk
Dalam hal ini,
seruan Gerakan Nasional untuk tidak pilih politikus busuk di tahun 2009 perlu
menjadi perhatian kita. Jangan pilih caleg yang masuk kategori politikus busuk,
yakni mereka yang terlibat korupsi, yang melanggar HAM, yang merusak
lingkungan, yang terjerat maupun menjadi backing
narkoba, serta yang memperkosa anak-anak dan perempuan. Akan dibawa ke manakah
bangsa ini bila mereka menjadi wakil rakyat dan memimpin bangsa ini?
Atas pertimbangan tersebut, kita dapat menentukan
kita memilih, yakni jangan memilih caleg yang berkecendrungan menjadi politikus
(apalagi politikus busuk) dan menjadikan politik sebagai komoditas bisnis.
Memilih mereka sama saja menjerumuskan diri sendiri dan bangsa ke jurang
kehancuran yang sempurna!
Sebaliknya, pilihan caleg berkarakter negarawan yang
mengembangkan sikap positif, toleran-inklusif-pluralis. Merekalah yang akan mampu
mengentaskan kita dari krisis multidimensi yang tiada henti. Caleg negarawan
tidak berpikiran sempit. Mereka tak Cuma berpikir tentang the next election but the next generation.
Karakter caleg yang negerawan tampak dalam beberapa
ciri. Pertama, mereka dapat dipercaya memimpin negara dan menjalankan
pemerintahan demi kesejahteraan umum. Untuk itu, kita harus cermat dalam
menentukan apakah seorang caleg memang benar-benar dapat dikatakan sebagai
negarawan yang baik.
Tidak Korup
Dalam mempertimbangkan kualitas para caleg yang
berkarakter negarawan, kita perlu bertanya: Pantaskah mereka menjadi pemimpin
kita? Jujurkah mereka? Mana yang mereka utamkan: kepemimpinan pribadi, golongan
sendiri, atau kepentingan umum? Dalam konteks ini, kita harus dan wajib secara
moral dan agama memilih mereka yang benar-benar mengutamakan kepentingan umum
dan tidak korup.
Kedua, sudah sekian dasawarsa selam rezim Orba hingga
Reformasi, kita memiliki para wakil rakyat yang nyatanya sering tidak
memperjuangkan kesejahteraan umum, keadilan rakyat dan kepentingan bangsa.
Karenanya, inilah saatnya bagi kita untuk menentukan pilihan cerdas-demokratis,
yakni memilih orang yang selama ini kita kenal dengan baik. Kita pun pantas
memilih wajah-wajah baru yang bersih, tidak terkait dengan masa lalu yang
korup, dan tidak terlibat dalam kejahatan korupsi.
Perlu ditegaskan secara imperatif-normatif: jangan
pilih mantan pejabat yang bermasalah. Jangan pilih mereka yang menggunakan
kekerasan untuk memenangkan diri dan kelompoknya. Jangan pilih mereka yang
dengan mudah menyalahgunakan senjata untuk membunuh rakyat yang tak bersalah
secara politis. Jangan pilih mereka yang memanipulasi media massa demi
kepentingan diri sendiri atau golongannya saja.
Ketiga, secara positif-prospektif, pilihlah para caleg
dengan karakter negarawan yang cerdas, bersih (dalam arti tidak tercemar oleh
rezim masa lalu yang korup), berpendirian tegas, mandiri, dan tanpa pamrih
untuk sungguh-sungguh terlibat dalam memperjuangkan kesejahteraan umum. Inilah
saatnya bagi kita menentukan caleg yang mengembangkan sikap
toleran-inklusif-pluralis dalam konteks pluralis agamis, etnis, dan kultural.
Itu berarti sebaiknya kita memilih mereka yang dengan
tulus ikhlas mengamalkan nilai-nilai luhur agama dan imannya. Hal itu terpancar
dalam pribadi caleg yang secara nyata mampu menghargai kelompok lain di luar
agama dan imannya. Merekalah yang memiliki karakter toleran-iklusif-pluralis.
Semoga dalam setiap memilihan calon wakil rakyat,
entah di lembaga legislatif maupun eksekutif, rakyat dapat memilih mereka yang
berkomitmen memperbarui kehidupan bangsa. Merekalah yang kita harapkan dapat
memperjuangkan rakyat, dan bukan menjerumuskan ke jurang ketidakadilan,
kekerasan, dan kemiskinan. Kalau itu yang terjadi, lagi-lagi rakyat masih akan jadi
tumbal.
Komentar