Pemberdayaan Pemuda dan Budaya
Ada degradasi dalam tatanan adat istiadat dan budaya
kita. Bila ini terus dibiarkan maka akan membahayakan jatidiri dan identitas
bangsa, sebab keberadaan keduanya ada dalam budaya. Kebiasaan merendahkan karya
bangsa adalah salah satu hal yang menyebabkan bangsa ini terus digerus
kemeralatan budaya. Hampir tidak ada kebanggaan berbangsa, apalagi kebanggaan
pada karya bangsa sendiri.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa ketahanan budaya
bangsa ini rapuh. Bangsa kita tidak berdaya menghadapi dinamika perubahan.
Ketidakberdayaan itu diperparah oleh hilangnya identitas dan rendahnya
produktivitas. Kerumunan bangsa ini disibukkan aktivitas pencitraan alternatif
dan belanja konsumsi. Tidak ada pemberdayaan pemuda, kosong pemberdayaan
budaya.
Degradasi dalam tatanan budaya itu harus dirumuskan
dalam satu kesempatan untuk membangun gerakan pelestarian budaya. Upaya itu
dapat dilakukan melalui pemberdayaan pemuda dan budaya. Langkah pertama adalah
menentukan siapa (tokoh, figur, panutan, pakar) yang bisa untuk mempengaruhi
pemuda dan merumuskan siapa yang harus diberdayakan.
Implementasi soal siapa yang mempengaruhi pemuda
dapat dilakukan dengan merangkai ketokohan, yaitu merangkai raja, kerabat
keraton, ketua adat, empu, guru, kyai, pendeta, budayawan, ahli keris (pahat),
dalang, perguruan tinggi, pusat kajian bahasa, komunitas agama/kepercayaan.
Mereka bisa berfungsi sebagai supporter dan fasilitator. Rangkaian ketokohan
ini harus melibatkan pemerintah dan perguruan tinggi untuk secara efektif
menghasilkan “assimilasi dan dinamika” bagi pemberdayaan pemuda dan budaya.
Soal bagaimana cara pemuda mewujudkan pemberdayaan
budaya, beberapa langkah berikut bisa dilakukan, yaitu; pertama, menggali semua
jenis aktivitas budaya, seperti tradisi-tradisi tingkat kraton dan tradisi-tradisi
setempat. Kedua, melestarikan output-output budaya melalui event-event budaya.
Ketiga, menggerakkan secara serasi antara aktivitas kehidupan masyarakat dengan
budaya setempat, misalnya proyek sapi srandaaan dan program gizi di D.I.
Yogyakarta.
Sikap terhadap perubahan
Bangsa ini juga dihadapkan pada dinamika perubahan
yang tak terelakkan. Kehidupan berbangsa terus bergerak cepat dalam arus
interaksi sosial, pengaruh dari luar (asing), kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kinerja ekonomi, komunikasi, transportasi, dan seterusnya. Arus
perubahan itu menerjang pula nilai-nilai budaya dan peradaban antar manusia.
Dalam menghadapi derasnya arus perubahan tersebut,
pilihan menyesuaikan diri akan lebih baik ketimbang bersembunyi dari menutup
diri, terlebih lagi melawan perubahan itu. Berkaitan dengan penyesuaian diri
ini, bisa diserahkan kepada otonomi masing-masing individu untuk menyikapi.
Tetapi bisa juga perubahan tersebut dihadapi secara bersama-sama untuk
melindungi nilai-nilai budaya luhur.
Adalah bijaksana apabila perkembangan nilai-nilai
lokal dari adat istiadat kita menjadi otoritas kepala suku atau kepala adat.
Sedangkan untuk nilai sosial dan nilai-nilai warisan menjadi tanggung jawab
bersama dari pra kyai, pendeta, raja atau sultan, cendekiawan, budayawan, dan
pimpinan kelembagaan.
Komentar