Menelaah Upacara Gumbrengan Desa Karang
Upacara gumbrengan
di Desa Karang Wonosari Gunungkidul Yogyakarta dipraktekkan dalam rangka
memenuhi kebutuhan rokhaniah setiap pengikutnya agar terhindar dari kecemasan
dan kekhawatiran. Kegiatan tersebut hakekatnya ingin mencapai harapan yang
didambakan, yaitu hidup baik, rizki cukup dan jauh dari malapetaka.
Dengan adanya gejolak-gejolak hati, manusia atau
kelompok orang-orang tertentu berusaha secara lahir dan batin melalui fikiran
dan perasaannya untuk mendapatkan apa yang diharapkannya dan sejauh-jauh
mungkin menghindar dari apa yang ditakutinya. Usaha-usaha lahiriyah akan
menghasilkan kebudayaan murni sebagai jelmaan dari cipta, rasa dan karsa
seorang manusia. Sedang usaha dalam bidang rokhaniah akan melahirkan tumbuhnya
kebudayaan yang tersinkretik dengan kepercayaan agama.
Menilik dan menelaah antara produk budaya dan produk
wahyu, akan jelas bahwa semua bentuk upacara atau kegiatan keagamaan jika
sumber inspirasi dari praktik tersebut memasukkan unsur budaya atau
adat-istiadat dari nenek moyang kita maka besar kemungkinan upacara-upacara
tersebut bukan dari inspirasi wahyu, akan tetapi terinspirasi oleh kebiasaan
yang bersumber dari hasil cipta, rasa dan karsa seseorang.
Kasus upacara-upacara adat seperti grebeg, selamatan, menabur bunga di
perkuburan, dan padusan tatkala
seorang Islam akan berpuasa di bulan Ramadhan dan masih banyak lagi
praktik-praktik lain yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, sulit untuk
diberantas apalagi dihilangkan, karena telah terpatri begitu kental dalam
kehidupan masyarakat kita, terlebih masyarakat Jawa seperti di Yogyakarta.
Upacara-upacara ini sulit untuk diberantas karena ia bukan lagi sebagai budaya
akan tetapi sudah menjadi keyakinan, yang bila kita tidak melakukannya terasa
belum tenang.
Itulah kebudayaan yang diyakini sebagai bagian
kebutuhan rohani kita. Di daerah Wonosari tepatnya di Desa Karang (karangrejek)
dapat ditemui adanya upacara ritual yang desebut dengan istilah gumbrengan atau sorak iyun yang dilakukan oleh masyoritas
masyarakat desa Karangrejek. Mereka berkeyakinan bahwa upacara tersebut akan
memberi dampak dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya.
Upacara gumbrengan
sebenarnya dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat desa
Karangrejek. Upacara tersebut berorientasi pada penyelamatan hewan-hewan
piaraan seperti sapi, kerbau, dan kuda. Dengan upacara ini diharapkan supaya
binatang piaraan tersebut dapat berkembang biak dengan baik dan sehat. Dengan
berkembangnya binatang piaraan maka secara tidak langsung memantapkan kehidupan
ekonomi mereka. Hal itu karena banyak diantara kegiatan pertanian, sapi
merupakan investasi bagi perekonomian keluarganya.
Upacara gumbrengan
muncul tatkala zaman atau keadaan perekonomian masyarakat desa
Karangrejek mengalami kehancuran. Hal ini karena tanah yang kering kerontang
sehingga nyaris tanaman dan pepohonan di persawahan mereka tidak tumbuh dengan
sempurna. Kekeringan yang terjadi tersebut tidak hanya terdapat pada desa
Karangrejek, tetapi lebih luas lagi kebeberapa desa dan kecamatan bahkan
sebagian besar wilayah Gunungkidul. Karena kekeringan yang berkepanjangan pada
waktu itu mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi beberapa
kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian.
Untuk mensiasati kondisi ini maka masyarakat
mengadakan beberapa kegiatan-kegiatan ritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa untuk menghentikan penderitaan yang mereka alami dan mengeluarkan
mereka dari masa sangat sulit tersebut. Diantara beberapa kegiatan ritual
tersebut ada yang ditujukan khusus untuk hewan ternaknya. Mereka menyakini
bahwa semua hewan ternak merupakan peliharaan Nabi Sulaiman. Mereka mengadakan
selamatan pada hewan ternaknya tepat pada saat ulang tahun hewan ternaknya,
yaitu pada wuku gumbreg. Masyarakat
mengadakan beberapa permohonan yang ditujukan kepada Nabi Sulaiman sebagai
rajanya binatang untuk memberikan keselamatan kepada hewan ternak masyarakat.
Karena kegiatan ritual ini dilaksanakan pada waktu wuku gumbreg, maka kemudian disebut gumbreg.
Ada beberapa peralatan yang digunakan dalam upacara gumbrengan ini. Diantaranya raan, yaitu sajian yang terdiri dari
beberapa jenis makanan yang diletakkan di atas tampah. Semua makanan dalam raan
ini terbuat dari hasil bumi atau palawija. Raan ini terdiri dari; ketela rebus,
kimpus rebus, kupat, kolak pisang, kolak ketela, jadah, dan trembili. Mengenai
macam-macam kupat yang digunakan adalah, kupat luar, kodok, cepuk, bantal,
lepet, bucu limo, dan kepes.
Jika dilihat dari segi nilai falasafinya mereka
berkeyakinan bahwa makanan atau kue tersebut sebagai simbol makanan yang sangat
sederhana, sedangkan makanan yang sederhana dan tradisional dalam konteks agama
atau kepercayaan mengandung makna qonnah dan
sakinah artinya hidup sederhana
(narima ing pandum).
Konsep kesederhanaan yang disimbolkan lewat makanan
yang disajikan dalam upacara gumbrengan tersebut
diyakini sebagai andap asyor dan
tawadhu, bahwa salah satu
kewajiban dari hamba Allah adalah memohon kepada Allah agar dalam hidup dan
kehidupannya senantiasa mendapatkan rizqi yang berlimpah melalui upacara gumbregan tersebut.
Gumbrengan dilaksanakan
pada setiap wuku gumbreg, dalam
kalender orang Jawa, setiap satu tahun terdiri dari 30 wuku, dan gumbreg adalah
salah satu di antara wuku-wuku
tersebut. Dalam setiap wuku terdiri dari tujuh hari. Meskipun dalam setiap wuku
terdapat tujuh hari tetapi pelaksanaan gumbrengan
ditetapkan hanya satu hari saja dengan pelaksanaan di masing-masing
dusun yang ada di Desa Karangrejek belum tentu sama. Pemilihan hari pelaksanaan
ini disesuaikan dengan roh yang menunggu dusun.
Upacara gumbrengan
dilaksanakan pada dua tempat, pertama,
di luar kandang, kegiatan ini merupakan kegiatan yang pertama.
Biasayanya dilaksanakan di teras yang berdekatan dengan kandang. Upacara ini
dihadiri oleh tuan rumah sebagai pemilik ternak dan beberapa tamu yang terdiri
dari anak-anak berusia 7-15 tahun. Tamu terdiri dari anak-anak karena jaman
dahulu hewan ternak biasanya digembala oleh anak-anak. Dalam istilah jawa,
anak-anak ini disebut cah angon.
Upacara ini terkesan sangat sederhana karena hanya
beralaskan tikar dan yang hadir dalam upacara ini duduk bersila secara
melingkar di atas tikar. Mereka mengitari raan
yang diletakkan di tengah-tengah mereka. Setelah semua berkumpul,
tuan rumah yang sekaligus juga berfungsi sebagai pemimpin upacara ini segera
membaca doa dengan suara yang dikeraskan. Doa yang diucapkan di sini
menggunakan bahasa sehari-hari (Jawa) sehingga bisa dimengerti maknanya secara
langsung. Kata-kata dalam doa ini tidak tetap dan bisa berubah-ubah. Artinya
antara sesama pemilik ternak mungkin menggunakan kata-kata yang berbeda-beda
asalkan secara garis besar masih mempunyai maksud dan tujuan yang sama.
Salah satu contoh doa dalam gumbrengan adalah sebagai berikut;
“Sesenono cah…,
aku nganakake Gumbregan
Kewane supaya bisa nredho widodo,
Nek manak lanang iso ngebaki kandang
Nek manak wedok iso nyesaki lawang
Slamet ing kandang, slamet ing ombene,
Slamet ing pakane
Kembang jagung turah sapi kurang dadung
Kembang terong turah sapi kurang brongsong
Kembang jambu turah sapi kurang luku
Kembang gedang turah sapi kurang pasangan
Kembang serut turah sapi kurang pecut
Gendroyono gelatik neng tumpale ojo kandek ojo kampir
kandekko kandang lumbunge”
Setelah doa-doa ini selesai anak-anak yang hadir
menjawab dengan suara yang dikeraskan dan bersamaan sorak iyuun. Jawaban sorak
iyuun bisa juga dikatakan sebagai pengaminan atas doa dan harapan
pemilik sapi. Setelah secara bersama-sama mengucapkan sorak iyuun maka anak-anak tersebut
diberi beberapa makanan yang diambilkan dari raan.
Makanan yang dibagikan dibungkus dengan daun. Setelah mendapatkan
makanan tersebut tuan rumah langsung menuju ke kandang dan diikuti oleh
anak-anak yang memperhatikan dari luar kandang.
Kedua, upacara
dilakukan di dalam kandang, upacara ini masih dipimpin oleh tuan rumah.
Kegiatan yang dilakukan oleh pemimpin upacara di dalam kandang terdiri dari
beberapa kegiatan, yaitu memerciki sapi dengan menggunakan air kembang yang
dilanjutkan dengan pengolesan tanduk hewan ternak dengan menggunakan kembang
boreh, menyuapi hewan ternak menggunakan intil
atau thiwul. Dimaksudkan
supaya ternak tersebut merasakan secara langsung hasil dari jerih payahnya
dalam membantu petani. Ini merupakan semacam usaha balas jasa bagi petani
terhadap ternaknya. Karena petani menggunakan sapinya untuk membantu mereka
dalam beberapa kegiatan pertanian, seperti membajak sawah dan mengangkut hasil
panen.
Kegiatan selanjutnya, meletakkan berbagai jenis kupat
pada langit-langit kandang. Kupat-kupat ini ada yang sudah diisi nasi dan juga
yang masih kosong karena disamping untuk sesaji, kupat ini biasanya di ambil
juga oleh anak-anak pada malam harinya, dan ini bukan merupakan suatu larangan.
Adanya kupat yang masih kosong ini untuk mengantisipasi kemungkinan diambilnya
kupat-kupat tersebut oleh anak-anak sehingga akan tersisa kupat yang masih
kosong. Peletakan kupat merupakan upacara yang paling akhir dalam upacara ini
sehingga setelah peletakan kupat ini anak-anak segera membubarkan diri.
Setidaknya manfaat yang dipetik dari upacara gumbrengan pada hekekatnya mencari
keselamatan, agar hewan peliharaannya akan tetap lestari dan berkembang biak
dengan baik serta dapat terhindar dari segala macam penyakit. Meskipun
harapan-harapan tersebut terlalu berlebihan. Sebab hewan tersebut dipelihara
seperti memelihara benda keramat yang jika lupa sekali saja tidak melaksanakan
akan mengalami bencana/penderitaan. Itulah keyakinan mereka.
Komentar