Muhammadiyah dalam Bingkai Perpolitikan
Indonesia 1966-2006
Penulis : Syarifuddin Jurdi
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan I : Pebruari, 2010
Tebal : xxxviii + 520 halaman
Muhammadiyah merupakan gerakan sosial Islam yang bersifat multiwajah. Aktivitasnya
tidak hanya berkaitan dengan bidang agama, pendidikan, kesehatan, sosial, dan
ekonomi, tetapi juga dengan wilayah politik kenegaraan. Peran maupun respons
Muhammadiyah dalam dinamika politik Indonesia lebih ditentukan oleh watak rezim
berkuasa. Walaupun demikian, secara umum peran Muhammadiyah ditandai oleh
ketergantungan yang dominan kepada pemerintah berkuasa, jika tidak mengatakan
bahwa Muhammadiyah terkooptasi dan terhegemoni.
Kiprah politik Muhammadiyah pernah mengalami ‘jalan buntu’ pada masa
Demokrasi Terpimpin. Faktor utama yang menyebabkan melemahnya peran politiknya
adalah posisi Masyumi yang krusial. Partai tersebut pada 1960 diperintah untuk
membubarkan diri, sedangkan Muhammadiyah merupakan anggota istimewa partai
Masyumi. Sehingga selama enam tahun kiprah politiknya terpinggirkan. Akibatnya,
Muhammadiyah kesulitan memainkan peran-peran politiknya secara proporsional
dalam memperjuangkan ide-ide politiknya.
Akibat yang lebih luas, aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai
ideologi dan agama negara dan seterusnya selama rezim Orde Baru, bahkan dituduh
sebagai pihak yang ingin mendirikan Negara Islam dan selalu dicurigai menentang
ideologi Negara Pancasila. Pendek kata, Islam politik berhasil dikalahkan-baik
secara konstitusinal, fisik, birokrasi, lewat pemilihan umum, maupun secara
simbolik.
Pada sisi lain, para aktivis Muhammadiyah maupun aktivis Islam memandang
pemerintah sebagai agen dari pihak luar (Barat), karena pemerintah melakukan
manuver politik untuk menghilangkan arti penting politik Islam dan mendukung
terciptanya struktur masyarakat yang sekuler. Dalam hal ini, pemerintah
menerapkan kebijakan kepada Islam bersifat ganda, yaitu mengizinkan Islam
ritual atau Islam ‘masjid’ untuk tumbuh dan berkembang serta melarang sama
sekali berkembangnya Islam politik.
Dalam kondisi politik demikian, bagaimana Muhammadiyah berperan dalam
proses politik bangsa? Dengan cara apa mengartikulasikan peran serta
merealisasikan aspirasi politiknya? Buku yang ditulis Syarifuddin Jurdi ini
memberikan analisis mendalam mengenai peran dan respon Muhammadiyah terhadap
proses perubahan politik dan implikasinya terhadap reformasi sistemik. Penulis
juga memberi gambaran terkini mengenai hubungan Muhammadiyah dan politik, banyak
aspek politik, kekuasaan dan negara yang dibahas.
Penulis memiliki pandangan bahwa watak Muhammadiyah yang moderat-akomudatif,
hubungannya dengan pemerintah pada hakikatnya bersifat mutualistik: pemerintah
memandang Islam yang diperjuangkan Muhammadiyah merupakan Islam kultural. Untuk
memperkuat pandangan tersebut, penulis menyebut Muhammadiyah berpolitik dengan
etika dan moral atau high politics, yaitu politik luhur, adiluhung, dan
berdimensi moral dan etis, yang dibedakan dengan law politics, sebagai politik
praktis dan sering cenderung nista. Pendekatan lain dalam memahami peran
politik Muhammadiyah yaitu allocative politics, berpolitik untuk mengelaborasi
nilai-nilai Islam dalam kehidupan politik kenegaraan.
High politics dan allocative
politics membingkai peran Muhammadiyah dalam dinamika politik Indonesia. Kedua strategi di atas
melahirkan berbagai sikap dan perilaku Muhammadiyah yang bervariasi. Antara 1945-1959,
Muhammadiyah berperan aktif dalam politik dengan menjadi anggota istimewa
Masyumi; 1965-1968 sebagai Ormaspol yang berfungsi ganda, dan 1968-1969
berafiliasi ke Parmusi, dan setelah itu menempuh kemasyarakatan. Ide-ide dan
pemikiran Muhammadiyah diperjuangkan oleh kader-kadernya, tetapi juga secara
kelembagaan langsung memberikan masukan, kritik, dan koreksi atas kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.
Sesuai dengan kecenderungan perubahan, hubungan Muhammadiyah-pemerintah
sepanjang sejarahnya bersifat fungsional. Pemerintah mengakomodasi aspirasi
lembaga-lembaga sosial keagamaan untuk difomulasi dalam kebijakan pemerintah, dan
lembaga-lembaga sosial seperti Muhammadiyah berkiprah pada wilayah sosial, pendidikan,
dan lain sebagainya. Relasi itu semakin penting diperhatikan pasca Orde Baru, ketika
politik Indonesia semakin terbuka dan demokratis, relasi antarlembaga Negara
semakin seimbang, relasi pusat-daerah semakin baik, pers yang bebas, dan partai
politik berdiri dengan bebas.
Muhammadiyah melalui sidang Tanwir semarang 1998 menegaskan pemihakannya
pada perubahan. Pasca rapat pleno PP diperluas di Jakarta, Amien Rais diijinkan
melakukan istihad politik guna merespons perubahan. Ia mendirikan Partai Amanat
Nasional (PAN), sebuah partai plural, non-sektarian, dan akomodatif, yang meski
memperoleh ‘restu’ Muhammadiyah, PAN tidak terkait Muhammadiyah.
Selain itu, penting bagi Muhammadiyah, dalam sistem politik yang terbuka
dan demokratis, sebagaimana kebanyakan kelompok kepentingan lainnya, untuk ikut
berusaha terlibat aktif dalam proses politik pasca Orde Baru. Satu peristiwa
yang tampaknya penting diperhatikan adalah pemilu 2004 dan Pilpres 2004. Pada
dua pesta demokrasi tersebut, Muhammadiyah memberikan respons dan terlibat
aktif.
Beberapa gagasan dalam buku ini begitu menarik karena penulis mencoba
mengaitkan antara ide dan tindakan politik. Paradigma yang dipergunakan yaitu
bahwa ‘ide’ merupakan faktor yang memengaruhi perilaku atau tindakan-tindakan
sadar manusia dalam situasi yang konkret. Dalam konteks ini, fenomena konkret
yang berhubungan dengan respons dan peran Muhammadiyah dalam perubahan politik
dapat dianggap sebagai manifestasi dari ide-ide tertentu yang berkembang dalam
organisasi. Ide-ide tersebut berasal dari manifestasi doktrin keagamaan yang
dipahami Muhammadiyah, tetapi juga terkait dengan motif dan kepentingan yang
mendorong suatu sikap politiknya.
Komentar