Menakar Neoliberalisme Indonesia
Judul Buku : Bahaya Neoliberalisme
Penulis : Revrisond Baswir
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, November 2009
Tebal : ix + 197 halaman
Pro-kontra neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan yang berlangsung
pada tahun terakhir ini sangat menarik untuk dicermati. Di luar dugaan, semua
pihak yang selama ini cenderung sangat pro-pasar, secara tiba-tiba mengelak
dituduh sebagai neolib. Bahkan, sebagaimana dipertontonkan oleh para ekonom
neoliberal pembela Boediono, mereka tidak hanya berusaha sekuat tenaga untuk
menepis pelabelan Boediono sebagai seorang neolib. Dengan sangat memaksa mereka
mencoba mengungkit sejarah dengan mengaitkan Bodiono dengan ekonomi Pancasila.
Pertanyaannya, mengapa kebanyakan ekonom yang selama ini sangat pro-pasar
tersebut tiba-tiba mengelak untuk diasosiasikan dengan neoliberalisme? Benarkah
Boediono seorang penghayat ekonomi Pancasila dan bukan seorang neolib? Peristiwa
apa sajakah yang perlu dicermati untuk mengetahui ideologi ekonomi seseorang?
Buku ini menganalisis secara kritis pertanyaan diatas, serta mengkaji apa
saja yang sebenarnya dilakukan Boediono dalam mengembangkan ekonomi yang
dianutnya. Penulis, Revrisond Baswir juga menguraikan lebih mendalam asal mula
dan perkembangan neoliberalisme sampai saat ini. Setidaknya, Revrisond mengajak
pembaca memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkait
dengan paham ekonomi neoliberal dapat dihindarkan dari debat kusir yang tidak
berketentuan. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme,
tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa mereka bukanlah penganut
neoliberalisme.
Sesuai dengan namanya, neoliberalisme adalah bentuk baru atau penyempurnaan
dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dalam naungan kapitalisme,
yaitu terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme, neokeynesiansme,
dan neomerkantilisme. Neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi
kelemahan yang terdapat dalam liberalisme klasik.
Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini
memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus
dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak
diperlukan sama sekali.
Akan tetapi, setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar
pada 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara
drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi
dapat menjadi sumber malapetaka bagi perkembangan kemanusiaan. Depresi besar 1930-an
tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi
bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, maka pada September 1932,
sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken, mengusulkan
dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat
peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rustow
dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke, Simon,
dan Friedman.
Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti
kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut; (1) tujuan utama
ekonomi neoliberal adalah pengembang kebebasan individu untuk bersaing secara
bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor
produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan
hasil dari penerbitan pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang.
Akan tetapi, dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang
diselengarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika
Serikat (AS), pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap
kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom
neoliberal tersebut tersisih oleh konsep ekonomi negara kesejahteraan yang
digagas oleh John Maynard Keynes.
Sebagaimana diketahui, dalam ekonomi negara kesejahteraan atau
keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai
pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk
melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menjamin stabilitas
moneter, menggerakkan sektor riil, dan menciptakan lapangan kerja. Terkait
dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan, “Selama
masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian
tetap dibenarkan.”
Namun, kedigdayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1980-an, menyusul
terpilihnya Reagen sebagai presiden Amerika Serikat (AS), dan Thatcher sebagai
perdana menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum
untuk diterapkan secara luas. Di AS hal itu ditandai dengan dilakukannya
pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai
dengan dilakukannya privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara massal.
Selanjutnya, terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan
neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya
krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin, Departemen Keuangan
AS, bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, merumuskan
sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan
Konsensus Washington.
Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif
berlangsung setelah perekonomian Indonesia mengalami krisis moneter pada 1997/1998.
Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang
ditandatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan
langsung IMF pada 2006, pelaksanaan agenda-agenda tersebut dikawal oleh Bank
Dunia, ADB, dan USAID.
Menurut Revrisond, bahaya neoliberalisme terletak pada pemujaan yang sangat
berlebihan terhadap peranan pasar. Bagi Revrisond, pasar hanyalah salah satu
alat, bukan satu-satunya alat, untuk mencapai tujuan perekonomian. Sebab itu, menjadikan
pasar sebagai satu-satunya alat, lebih-lebih memujanya sebagai tujuan itu
sendiri, sama artinya dengan memorak-porandakan fondasi integrasi sosial dan
menjerumuskan masyarakat ke lembah kehancuran.
*) Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 6 Nopember 2009
Komentar