Komitmen Pemimpin untuk Pendidikan
Menurut Suyanto,
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas (Kompas
30/05/08), dari total 531.186 ruangan kelas SD dan SMP di seluruh Indonesia
yang rusak, 60,25 persen di antaranya sudah selesai direhabilitasi oleh
pemerintah pusat. Adapun pemerintah daerah bisa menyelesaikan rehabilitasi
sebanyak 47.926 ruangan kelas atau baru 5,3 persen. Sampai saat ini, sudah 128
kabupaten/kota yang tuntas dalam perbaikan gedung sekolah yang rusak. Itu pun
pengembangannya baru sebatas fisik sekolah, belum pada sasaran sarana dan
prasarana untuk menunjang kualitas pembelajaran di sekolah. Suyanto mengatakan,
khusus untuk perbaikan SD rusak masih 213.63 ruang kelas.
Bagaimana dengan kualitas guru? Menurut Balitbang
Depdiknas, guru-guru Indonesia yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri
maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%,
guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73 %, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26
%. Rendahnya profesionalitas guru ini salah satu dipengaruhi oleh pendidikan
guru yang belum memadai. Dari 2,7 juta orang guru di Indonesia hanya
sepertiganya atau 35% saja yang berpendidikan S1. Sedangkan di Sekolah Dasar
guru berpendidikan S1 baru sekitara 10% sedangkan menurut undang-undang no 14
tahun 2005 guru Sekolah Dasar harus S1.
Fenomena diatas menunjukkan bahwa kinerja pendidikan
nasional Indonesia masih buruk dan memprihatinkan. Itu semua merupakan akibat
pembiayaan pendidikan kita yang rendah dan kurang memadai. Meski bukan
merupakan satu-satunya faktor, pembiayaan pendidikan merupakan faktor dominan
yang amat menentukan kinerja pendidikan nasional. Agar di masa depan kinerja
pendidikan nasional dapat diperbaiki maka faktor pembiayaan pendidikan harus
dibenahi. Untuk mewujudkannya amat diperlukan sebuah komitmen.
Para pemimpin negara, siapa pun orangnya yang
nantinya terpilih pada 8 juli 2009, harus memiliki sense of education yang memadai dengan komitmen memajukan
pendidikan. Dan, komitmen ini diwujudkan antara lain dalam alokasi dana untuk
pembiayaan pendidikan nasional.
Secara lebih praktis komitmen pembiayaan pendidikan
kini ada dua hal yang perlu diwujudkan, pertama menyangkut konsistensi dan
kedua menyangkut inovasi. Kedua hal ini perlu diangkat kembali mengingat selama
ini kita senantiasa mengabaikannya.
Mengingat konsistensi, sebenarnya kita sudah memiliki
peraturan yang kondusif untuk mengalokasikan dana pendidikan secara memadai;
tetapi kita senantiasa melanggar peraturan yang dibuat sendiri.
Kalau kita ingat, sebenarnya besarnya alokasi dana
untuk pembiayaan pendidikan pernah diatur dalam ketetapan MPR/MPRS No
II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 dan Tap MPRS No XXVII/MPRS/1966 tentang
Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan. Dalam Tap MPRS No II/MPRS/1960 Pasal 9,
Butir 1, Lampiran CI dinyatakan, anggaran pendidikan kita mencapai 25 persen
dari anggaran belanja negara, sementara itu dalam Tap MPRS No XXVII/MPRS/1966
tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan Pasal 6 secara eksplisit disebutkan,
sesuai Tap MPRS No II/MPRS/1960 Lampiran CI No 1, agar Anggaran Belanja Negara
untuk bidang Pendidikan yang berjumlah 25 persen dilaksanakan.
Jadi secara hukum, sebenarnya kita telah mempunyai
peraturan tentang alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan yang jumlahnya amat
memadai. Namun, selama pemerintahan Orde Baru dan Orde transisi berkiprah,
peraturan ini tidak pernah ditepati.
Selanjutnya UUD 1945 yang diamandemen juga mengatur
alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 secara
eksplisit menyebutkan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional”. Di sisi lain Pasal 49 ayat (1) UU No 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan, “Dana pendidikan selain gaji pendidik
dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor
pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD”. Selama orde transisi dan orde
reformasi berkiprah, lagi-lagi peraturan ini tidak pernah ditepati.
Konsistensi untuk menjalankan peraturan yang dibuat
sendiri itulah yang kini amat diperlukan untuk mewujudkan komitmen memajukan
pendidikan melalui alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan yang cukup dan
memadai.
Mengenai inovasi, kini diperlukan sistem pembiayaan
yang adil dan transparan. Sistem pembiayaan pendidikan kita selama ini belum
menunjukkan rasa keadilan bagi seluruh warga negara, selain kesannya masih
tertutup.
Dalam sistem pembiayaan pendidikan kita selama ini,
anak-anak orang kaya ternyata cenderung lebih diuntungkan daripada anak-anak
orang yang berpunya. Selain itu sekolah dan perguruan tinggi negeri yang
diselenggarakan pemerintah lebih diuntungkan daripada sekolah dan perguruan
tinggi swasta yang diselenggarakan masyarakat.
Hasil studi Bank Pembangunan Asia (ADB) dan The
University of Hongkong (UHK) (1998) dalam Financing
of Education in Indonesia 1998 menunjukkan siswa sekolah negeri
mendapatkan bantuan jauh lebih banyak daripada siswa sekolah swasta. Untuk
tingkat SMP misalnya, siswa sekolah negeri yang jumlahnya 4.684.000 mendapat
dana penyelenggaraan dan dana pengembangan sebesar Rp 1,760 miliar hingga tiap
anak rata-rata memperoleh subsidi sebesar Rp 376.000. sedangkan siswa sekolah
swasta yang jumlahnya 2.262.000 mendapat dana penyelenggaraan dan dana
pengembangan sebesar Rp 29 miliar, sehingga tiap anak rata-rata hanya
memperoleh subsidi Rp 13.000. Hal ini juga berlaku bagi siswa pada satuan
pendidikan yang lain.
Studi CIMU (2000) terhadap pendistribusian Dana
Bantuan Operasional (DBO) bagi sekolah-sekolah di Indonesia menghasilkan temuan
empirik, dalam membagi DBO terjadi bias target yaitu masih banyaknya sekolah
swasta yang kondisinya lebih ‘miskin’ justru tidak mendapat bantuan, sementara
banyak sekolah negeri yang kondisinya bagus justru mendapat bantuan DBO.
Inovasi untuk menghasilkan sistem pembiayaan
pendidikan yang lebih adil dan transparan itulah yang kini amat diperlukan
untuk mewujudkan komitmen memajukan pendidikan melalui alokasi dana guna
pembiayaan pendidikan yang cukup dan memadai.
Komitmen untuk memajukan pendidikan melalui penerapan
sistem pembiayaan pendidikan secara konsisten dan inovatif merupakan kunci
kemajuan pendidikan pada khususnya dan kemajuan bangsa Indonesia umumnya.
Komentar