Jihad Melawan Teror
Aksi teror jelas merupakan tindak amoral sekaligus
kriminal yang sangat merugikan manusia dan kemanusiaan. Siapa pun tentu tahu
bahwa aksi teror dan mereka yang menganut paham terorisme sesungguhnya melawan
agama. Tidak ada alasan apapun secara moral maupun teologis untuk mengatakan
bahwa teror bisa dibedakan antara ‘teror suci’ dan ‘teror kotor’. Lain halnya
mungkin dengan istilah ‘perang suci’, di mana dalam keadaan tertentu yang
sangat mendesak seseorang boleh mengangkat senjata demi mempertahankan keimanan
dan menegakkan kebenaran.
Dalam Islam, agama, yang secara politik sekarang ini
lebih dicurigai sebagai lawan Barat dan sering dituduh sebagai dekat dengan
aksi-aksi terorisme ini, pengertian jihad sebenarnya bukanlah identik dengan
kekerasan. Siapa pun yang mau mempelajari secara sungguh-sungguh makna jihad
melalui sumbernya yang autentik, maka ia akan menemukan pehamanan bahwa
mengangkat senjata hanya diperbolehkan dalam kedaan yang sangat darurat dan
terbatas.
Oleh karena itu, demi memelihara tanggung jawab
kemanusiaan, di zaman Rasulullah pernah seorang sahabat ditolak ikut dalam
perang, dan dianjurkan untuk mendahulukan menjaga orang tuanya yang sedang
sakit sebagai wujud tanggung jawab tersebut.
Sejalan dengan itu, sebagaimana Kristiani dan Judaisme,
yang oleh Islam kedua agama ini diakui sebagai sama-sama satu rumpun dalam
menyembah Tuhan yang sama, atau yang disebut dengan ‘Ahl al-kitab’, orang-orang Islam
sebenarnya lebih diwajibkan untuk melakukan dakwah ketimbang melakukan
pemaksaan kepada orang-orang kafir jahiliah agar tidak menyekutukan Tuhan
dengan kekuasaan lain.
Dengan mengutip konsep jihad diatas, saya ingin
mengatakan bahwa gejala terorisme yang menjadi ciri dari gerakan-gerakan anti
globalisasi, khususnya di kalangan umat Islam terhadap politik luar negeri
Amerika, kalau kita amati dan pahami secara sungguh-sungguh sebenarnya bukanlah
sebuah pemahaman autentik yang berasal dari kesadaran keberagamaan yang
dibentuk oleh moralitas dan spiritualitas Islam yang sebenarnya. Kalau kita mau
jujur, ini adalah produk dari sejarah dan perubahan sosial.
Sekadar sebagai contoh, kemunculan kelompok yang
dianggap, atau yang sering disebut sebagai kelompok Islam fundamentalis di
Mesir pada tahun 80-an di mana mereka melancarkan aksi melawan pemerintahnya
sendiri, saya kira bukannya didorong oleh kesadaran teologis tertentu dalam
memaknai perjuangan Islam. Namun, sikap keras dan radikal itu lebih dibentuk
oleh ketidakpuasan yang mendalam terhadap politik negerinya yang tidak adil,
khususnya dalam hal ekonomi.
Sosialisme Arab, yang saat itu digagas oleh para
pemimpinnya dengan memberikan janji akan dipenuhinya keadilan sosial sebagai
cita-cita bangsa yang baru merdeka dari kolonialisasi Barat, ternyata gagal.
Sementara itu, para pemimpin baru yang muncul cenderung bergabung dengan pasar
kapitalisme. Hal ini membuat kelompok radikal itu menoleh kepada Islam sebagai
alternatif untuk dijadikan utopia baru ketimbang kembali ke Barat yang telah
menanamkan rasa pahit dalam perjuangan bangkitnya nasionalisme mereka.
Saya tidak ingin mengulas lebih panjang tentang akar
persoalan mengapa Islam yang dulunya dalam membangun peradaban memiliki sejarah
panjang yang harmonis dan mampu berdialog dengan Barat ini, sejak poskolonial
dan lebih mengemuka lagi sejak selesainya perang dingin, tiba-tiba menjadi
penentang Barat atau global kapitalisme? Namun yang bisa menerangkan labih jauh
tentang gejala ini sudah tentu tidak lain adalah soal cita-cita sosialisme yang
gagal tersebut dan keengganan untuk menerima kapitalisme sebagi tumpuan
keadilan sosial. Sebuah jawaban dan penjelasan yang sesungguhnya tidak hanya
terjadi di kalangan negara dan negeri-negeri kaum muslim.
Namun kalau kita amati secara objektif, sesungguhnya
inilah nasib negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya tatkala soal kemiskinan
menjadi corak dan persoalan yang sangat serius dan belum terselesaikan sampai
sekarang. Islam, sebagai agama, bagaimanapun sekarang ini mempunyai ruang yang
luas dan menyebar diakui sebagai pertumbuhan budaya dan peradaban yang berpengaruh
secara global. Namun, sebagai bagian dari keadaan umat manusia yang menghuni
negara dunia ketiga, umatnya tetap merasakan betapa menderitanya berhadapan
dengan hegemoni pasar kapitalisme sekaligus kekuatan dominasi dari politik
negara Barat yang maju. Kaum Muslimin sekarang ini telah menyebar ke
negara-negara maju demi mencari kehidupan yang lebih layak.
Di Eropa, Australia, dan Amerika, mereka menjadi kaum
imigran sambil memelihara tradisi dan identitas kultural mereka. Harapan mereka
di negara maju itu, selain memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik, juga
ingin menikmati kebebasan yang lebih bermartabat untuk memperoleh hak-hak
kultural mereka. Namun apa dikata, kalau kita dengarkan nasib mereka yang
tertekan hak-hak di negerinya sendiri, ternyata sama halnya juga ditekan di
negara yang mereka semula sangka sebagai penganjur hak asasi manusia itu.
Butuh Komitmen
Harus diakui, bahwa tidak mungkin menghentikan aksi
kekerasan dan teror atas nama Islam hanya dengan upaya-upaya memperbaiki atau
meluruskan paham jihad, atau dengan mengedepankan khotbah-khotbah tentang
pentingnya Islam menjunjung toleransi atau pluralisme. Namun paling tidak, jika
lembaga-lembaga kajian referensi Islam seperti pesantren mampu meneguhkan
komitmen moral Islam yang paling dasar tentang kewajiban untuk memelihara dan
menjaga keselamatan baik nyawa maupun harta siapa saja yang tidak bersalah dan
berdosa.
Saya yakin, langkah ini merupakan sumbangan besar
dalam menyelesaikan konflik dan ketidakadilan yang terjadi di belahan dunia
dewasa ini. Langkah ini juga menjanjikan harapan besar untuk teratasinya semua
konflik tanpa melalui jalan kekerasan, apalagi dengan tindak kebrutalan atas
nama Tuhan. Sebab, bukan di situ saya kira karakter dan makna jihad yang
sesungguhnya. Selama ketidakadilan di dunia ini korbannya telah melintasi
batas-batas bendera perbedaan agama dan etnisitas, maka di situ sangat
diperlukan kesadaran kemanusiaan baru untuk saling bekerja-sama secara kolektif
dalam rangka melawan bentuk ketidakadikaln struktur global yang telah
melahirkan disparasitas ekonomi dan sosial. Di situlah saya kira akar dari
kemiskinan dan proses dehumanisasi sekarang ini yang terjadi di mana-mana.
Komentar