Demokrasi Deliberatif untuk Indonesia
Judul Buku : Demokarsi Deliberatif
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 246 halaman
Berakhirnya rezim Orde Baru, 21 Mei 1998, Indonesia segera memasuki fase
yang disebut dengan “liberalisasi politik awal”. Inilah fase yang ditandai oleh
serba ketidakpastian dan karenanya dinamai secara teoritis oleh O’Donnell dan
Schimitter kurang lebih sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah
menuju ke mana”.
Liberalisasi politik awal pasca-Orde Baru ditandai antara lain oleh
redefinisi hak-hak politik rakyat. Daftar hak yang mana sebelumnya begitu
pendek, dalam fase ini telah memanjang secara dramatis. Setiap kalangan
menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun diberangus oleh
rezim otoriter. Sebaliknya, hampir tak ada kalangan yang peduli kepada
kewajiban-kewajiban politik mereka.
Dalam kerangka ini terjadilah luapan kebebasan. Kehidupan politik warga
ditandai oleh naiknya kebebasan sebagai suasana dan tuntutan umum di tengah
masyarakat. Dari sini lalu memunculkan ledakan partisipasi politik. Ini
merupakan konsekwensi logis pengekangan partisipasi politik yang berlebihan
selama Orde Baru berkuasa. Ledakan partisipasi politik terjadi dalam bentuknya
yang beragam. Pada tataran massa akar rumput, ledakan partisipasi politik
banyak mengambil bentuk huru hara, kekerasan massa, dan amuk.
Suasana politik yang penuh ketidakpastian ini perlu mendapat jalan keluar
yang satu sisi tidak mengembalikan kepada situasi anti-demokrasi sebagaimana
diperagakan oleh rezim Orde Baru, tetapi pada sisi lain ledakan partisipasi
rakyat mendapat saluran demokrasi secara sistemik. Berbagai perubahan radikal
memang telah dilakukan oleh bangsa ini pasca-Orde Baru. Kehidupan demokrasi
diwujudkan dalam bentuk kebebasan mendirikan partai politik, pemilihan presiden
dan wakil presiden secara langsung, bahkan sampai pada pemilihan kepala daerah (Pilkada)
secara langsung pula.
Tetapi, di tengah semerebaknya aroma demokrasi, muncul pertanyaan-pertanyan
kritis: Apakah pertisipasi rakyat telah betul-betul mewujud dalam konfigurasi
politik real Indonesia? Ataukah partisipasi itu hanya menjadi komoditas politik
paling laris dikalangan elit politik? Apakah memang betul-betul telah terbentuk
ruang publik (public sphere) untuk membentuk diskursus bersama? Ataukah yang
terjadi adalah demokrasi semu (psudeo-democracy) karena pada hakekatnya yang
menentukan kebijakan dalam negeri ini melulu para elite? Lantas peran rakyat di
mana?
Itulah sekian pertanyaan kritis penulis buku ini, F. Budi Hardiman, yang
coba dijawab dalam buku ini. Dengan menggunakan perspektif demokrasi deliberatif
milik J?rgen Habermas seorang ilmuwan sosial kritis madzab Frankfurt. Dimana, dalam
demokrasi deliberatif, kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan) dipengaruhi
oleh diskursus-diskursus “liar” yang terjadi dalam masyarakat. Di samping
kekuasaan administratif (negara) dan kekuasaan ekonomis (kapital) terbentuk
suatu kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat
sipil. Penulis, secara kritis mengkaji demokrasi deliberatif ini, setidaknya
bisa menjadi bahan pertimbangan dalam sistem politik atau pemerintahan
Indonesia pasca-Orde Baru.
Bidang Hukum Indonesia
Berbagai konflik dan amuk massa yang terus menggejala dari awal reformasi
sampai hari ini dengan berbagai motif dan tujuan, dari perspektif Habermas, tidak
cukup diatasi dengan solidaritas antar warga bangsa. Integrasi sosial, kata
Habermas, tidak dapat dicapai tanpa hukum, tidak pula dengan kekuatan kekuasaan
administratif (negara). Dengan adanya hukum, masyarakat memiliki kerangka
kelakuan yang dapat diikuti begitu saja tanpa harus terus menerus ber-diskursus.
Hukum menyediakan kerangka di mana warga dapat memperjuangkan
kepentingannya masing-masing secara sah, dan orang tidak harus, sebagaimana
diandaikan dalam negara moral ala Rousseau, selalu bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
moral tinggi. Cukup ia berpegang pada hukum dan ia dapat hidup dan berusaha
dengan damai. Tetapi hukum di sini adalah hukum yang kokoh dan legitimate.
Kultur dan struktur hukum Indonesia masih lemah, begitu kata banyak
kalangan dikala memotret fenomena pelanggaran hukum yang kian semarak di negeri
ini, sehingga konstruk hukum Indonesia tidak kokoh dan legitimate. Menurut
Hebermas, inilah yang membuat hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hukum
di Indonesia, sebagainana yang telah dibayangkan Habermas, adalah hukum yang
sangat ambigu, karena rentan terhadap pengaruh lobby dan rekayasa tingkat
tinggi oleh kekuasaan tentunya.
Sistem pemerintahan Indonesia, sebagaimana negara demokrasi lainya, menganut
sistem sparation of power atau pembagian kekuasaan antar lembaga tinggi negara,
yaitu kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan sistem demikian
dimungkinkan adanya checks and balances antar kekuasan tersebut dan konsentrasi
kekuasaan dapat dicegah. Tetapi yang masih sulit dijamin dalam sistem itu
adalah sejauh mana interaksi politik antar lembaga tinggi itu terpengaruh oleh
arus besar suara rakyat alias apakah rakyat mempunyai akses yang cukup untuk
turut meramaikan dinamika diskursus yang sedang digagas oleh ketiga pemegang
kekuasaan itu. Apakah bukan yang terjadi adalah mereka yang memegang kekuasaan
“hanya” mengurusi kepentingan diri mereka sendiri karena memang jaring-jaring
politik yang menghubungkan antara rakyat dengan pusat-pusat kekuasaan belum
terbentuk. Inilah problem utama dalam reformasi politik hukum politik hukum
Indonesia secara fundamental dan paradigmatik.
Dalam buku ini, penulis, F. Budi Hardiman menyajikan model demokrasi yang
ditawarkan Habermas, yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses pembuatan hukum
dan kebijakan-kebijakan politik. Itulah demokrasi deliberatif yang menjamin
masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui diskursus-diskursus.
Tetapi bukan seperti dalam republik moral Rousseau di mana rakyat langsung
menjadi legislator, maka dalam demokrasi deliberatif yang menentukan adalah
prosedur atau cara hukum dibentuk. Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan atau
hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus-diskursus yang terus-menerus
(baca : mengalir) di dalam masyarakat. Buku ini menjadi sangat penting bagi
masyarakat Indonesia yang ingin mendalam memahami politik deliberatif
perspektif Habermas.
Komentar