Agama dan Radikalisasme
Judul Buku : Ideologi Kekerasan
Penulis : Agus Purnomo, M.Ag
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Tebal : x + 77 halaman
Agama merupakan totalitas sumber kearifan, cinta, dan perdamaian di
antara sesama manusia. Namun, realitas menyajikan fenomena yang justru
berlawanan dengan hakikat agama. Fenomena tersebut terjadi dalam tradisi agama
Yahudi, Kristen, dan Islam. Argumen apologetik kemudian diberikan untuk
mempertahankan kekudusan fungsi agama, yakni yang harus dipersalahkan dalam
konteks perpecahan, konflik dan kekerasan agama bukanlah agama tetapi pihak-pihak
yang tidak memenuhi keimanan dan religiusitas terhadap kekuatan eksternal yang
berkonspirasi menebar benih kebencian dan permusuhan.
Cara agama-agama berperilaku dalam sejarah, ditentukan oleh worldview
masing-masing terkait dengan problem identitasnya sebagai pemilik dan
pemonopoli klaim kebenaran dan menafsirkan kebenaran pihak lain. Hal ini karena
sesungguhnya semua agama bermula dari ‘momen’ khusus. Kecenderungan agama-agama
memerhatikan yang khusus ini mengoptasi dan menghegemoni, sehingga mereduksi
dan mengesampingkan klaim spiritualitasnya yang universal.
Kekerasan agama merupakan sebuah gerakan, yang mengespresikan kengerian dan
merampas kebebasan, ketenangan dan ketentraman hidup pihak lain, tidak saja
secara fisik, namun juga psikis. Kekerasan bukanlah dilakukan tanpa perencanaan
dan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu, mengorganisasian gerakan ini
juga bisa dipastikan profesional, dilengkapi dengan peranti yang lengkap
menyangkut ideologi gerakan maupun sistem pengorganisasian, baik menyangkut
sistem komando, rekrutmen dan pengembangan anggota, juga ganjaran bagi
kesetiaan dan hukuman bagi pengkhianatan.
Buku ini menjelaskan realitas terjadinya ‘penyelewengan’ agama diatas, terutama
yang mendapat justifikasi dari teks-teks agama. Gerakan kekerasan agama, menyangkut
persoalan ideologis dan bagaimana pengorganisasiaanya, sedangkan masalah
prosedur kekerasan, terkait antara lain dengan persoalan ideologis. Begitu juga
dengan legitimasi kekerasan yang merupakan faktor penting bagi perjuangan
‘kebenaran’ yang diyakini kelompok tersebut.
Dalam agama Kristen terdapat perintah ‘perang suci’ yang karenanya
peperangan boleh dilakukan. Terjadinya perang Salib yang berlangsung selama
bertahun-tahun, bisa disebut sebagai wujud dari kekerasan yang dilegitimasi
oleh agama. Agama Yahudi, yaitu gerakan zionisme berupa pengusiran warga
Palestina yang dilakukan oleh Yahudi, dapat disebut sebagai tindakan kekerasan
yang mendapat justifikasi agama dalam rangka menegakkan Taurat. Begitu juga
Islam, meski teks-teks keagamaan dalam Islam lebih banyak mengandung pesan
moral untuk menebar kedamaian, tetapi terdapat pula teks-teks keagamaan yang
mengandung unsur kekerasan.
Radikalisme Islam
Ideologi jihad sering dipahami sebagai legitimasi kekerasan. Hal ini karena
jihad diyakini sebagai berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan
membunuh kaum muslimin. Dalam konteks ini, kendati sesungguhnya sebutan kafir
dan munafik bagi Zionis (Yahudi) dan Salibi (Kristen), kurang pada tempatnya, namun
ideologi tersebut telah mengkristal sebagai ideologi jihad kelompok pelaku kekerasan.
Hal ini misalnya dapat dilihat pada berbagai statemen pelaku peledakan bom Bali.
Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa misalnya, pernyataan Imam Samudera,
salah seorang pelaku bom Bali, justru meyakini dan memahami apa yang
dilakukannya sebagai melawan teroris, yakni Amerika. Dengan demikian, ia
menggapnya sebagai jihad fi sabilillah. Konsep jihad, dipahami Imam Samudera
dan kawan-kawannya berdasarkan penahapan hukumnya, yakni: pertama, menahan diri,
di mana umat Islam diperintahkan untuk menahan diri dari segala macam ujian, cobaan,
celaan, serangan dan penindasan kaum kafir; kedua, tahapan diizinkan memerangi
kaum kafir yang juga memeranginya; ketiga, tahap diwajibkan memerangi secara
terbatas, yakni ketika kaum muslim diperangi dan disiksa oleh kaum kafir, maka
wajib baginya jihad; keempat, tahap diwajibkan memerangi seluruh kaum kafir dan
munafik.
Perjuangan dengan kekerasan lainnya, bisa dilihat ketika kelompok
redikalisme keagamaan merespon realitas sosial yang penuh dengan aroma
kemaksiatan. Dengan mengacu kepada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, yang
didasarkan kepada tekstualitas hadis: man raa minkum munkar…, kelompok ini
tidak jarang melakukan razia dan pemberantasan dengan cara kekerasan terhadap
segaala sesuatu yang berbau ma’ashi, dzunub, munkarat, fahsha’, nifaq, muharromat
dan sebagainya. Misalnya, eksploitasi seksual dalam berbagai media, perzinaan, perjudian,
minuman-minuman keras, perzinaan, perjudian, minum-minuman keras, dan seabrek
kehidupan ‘dugem’ yang harus diberantas. Penelitian Zainuddin Fannanie terhadap
fenomena kekerasan dan radikalisme keagaman di Surakarta, membuktikan hal ini.
Penelitian Fannanie dkk., menyoroti perilaku berbagai kelompok radikalisme
keagamaan, yakni Laskar Santri Hizbullah Suann Bonang, Brigade Al-Islah, Gerakan
Pemuda Ka’bah, Brigade Hizbullah, Laskar Mujahidun Surakarta, Laskar Jundullah,
Laskar Jihad Ahlusunnah wal Jama’ah, KAMMI dan sebagainya. Menurut temuan
Fananie, bahwa munculnya KRK disebabkan merebaknya dekadensi moral dan isu
ekonomi-politik. Untuk itu, dakwah difokuskan sebagai amar ma’ruf nahi munkar, yang
dilakukan secara lunak maupun dengan kekerasan, sehingga KRK di Surakarta
sesungguhnya tidak monolistik. Sweeping tempat hiburan dan warga AS, pengiriman
Laskar Jihad ke Ambon dan merespon keras isu kristenisasi adalah di antara
perilaku radikal kelompok ini.
Dalam buku ini, penulis, Agus Purnomo berupaya menjawab dua problem
mendasar. Pertama, apa saja faktor-faktor yang terkait dengan terjadinya
gerakan kekerasan agama?, kedua, apa logika yang digunakan oleh para pelaku
dalam melegitimasi kekerasan agama?
*) Tulisan ini dimuat di Kabar Indonesia, 31 Oktober 2009
Komentar