Yesus Pun Ke Hollywood
Judul Buku : Jesus di
Hollywood
Penulis : Imam Karyadi
Aryanto
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 287 halaman
Harga : Rp 60.000
Yesus sang messiah dalam
iman Kristiani rupanya telah lama memukau para pembuat film. Tercatat, hanya 2
tahun berselang setelah pertama kali film dipertontonkan di hadapan publik di
Paris pada 1985, Henry C. Vincent memfilmkan kisah Yesus dalam The Passion Play
of Oberamergau. Semenjak itulah serangkaian iktiar memfilmkan kisah Yesus, baik
sebagai narasi utama maupun sisipan, terus bergulir. Menurut survei yang
dilakukan Mike Hertenstein dan dilansir dalam situs flickering@cornerstone
festifal tak kurang 26 film berkisah tentang Yesus dalam kurun waktu 107 tahun.
Tentu saja, kita bisa
menggeledah motivasi di balik iktiar memfilmkan Yesus. Mulai dari keinginan
merengkuh jumlah penonton yang besar hingga niatan menebarkan iman Kristen ke
penjuru dunia. Begitu pula, kita menyaksikan beragam respon terhadap film yang
mengangkat kisah Yesus; pujian, kecaman, kritikan, gugatan, larangan, dan
imbauan. Harap
dicatat, film tentang Yesus mampu meraup keuntungan yang menggiurkan. Misalnya,
film The Passion of The Christ (2004) besutan Mel Gibson mampu membakau
pendapatan 300 juta dollar hanya pada bulan pertama sejak peluncurannya di
Amerika saja.
Pertanyaannya, mengapa kisah Yesus senantiasa menarik difilmkan? Jawabannya
boleh jadi beragam. Tapi, agaknya kisa kesengsaraan Yesus (penyaliban) yang
banyak dipilih oleh para pembuat film. Di sinilah inti dari iman Kristiani
bertaut dengan narasi dramatik dari perjalanan hidup Yesus yang diwarnai oleh
kisah penghianatan, kesengsaraan, dan pengorbanan. Sebagaimana pengakuan Cecil B. DeMille, sutradara The
King of Kings (1926), “My purpose is, of course, dramatic entertainment; drama
in its highest sence as defined in the immoral apothegm Aristitle.” Film
DeMille dikenang sebagai karya yang megah dengan kecermatan yang mengagumkan
pada zamannya, terutama pada adegan penyaliban dan kebangkitan Yesus. Kita tahu,
karya DeMille diproduksi-ulang 35 tahun kemudian oleh Nicholas Ray dengan judul
yang persis sama.
Tapi, bukankah kisa Yesus bakal membosankan penonton jika berulang kali
difilmkan? Bukankah kisahnya telah terbabar jelas dalam Injil? Harus diakui, tidak
semua film tentang Yesus itu taat pada apa yang telah digariskan dalam Injil. Di
samping itu, ada banyak tafsir tentang sosok Yesus sendiri sebagai Tuhan yang
mengejewantahkan dalam manusia dan manusia yang memiliki kualitas Ilahi. Belum
lagi, silang sengketa ihwal siapa yang bertanggung jawab atas kematian Yesus. Di
samping itu, pertautan antara semangat zaman dan sudut pandang sang pembuat
film menjadikan setiap film senantiasa berbeda.
Meski demikian, bukan keragaman tafsir teologis rupanya yang menarik minat
Imam Karyadi Aryanto, penulis buku ini. Bagi Imam Karyadi, justru ‘dinamika
mitos Yesus’ yang menggelitik naluri risetnya. Di sini, narasi Yesus agaknya
dipahami sebagai sesuatu yang senantiasa berkembang, kendati Injil tetap saja
menjadi sumber rujukan utamanya. Maka, tak
aneh, analisis morfologi dongen (morphology of the folktales) dari Vladimir
Propp digunakan Imam Karyadi Aryanto sebagai metode untuk membedah kisah Yesus
dalam 3 film terpilih; The King of The Kings (1961), The Las Temptation of
Christ (1988) dan The Passion of the Christ (2004). Analisis morfologis (struktural)
tersebut mula-mula dipakai Propp untuk mengaji 300 dongeng rakyat Rusia dan
menemukan perangkat yang universal; karakter/peran cerita (dramatic persone) dan
aksi/perbuatan (function).
Lewat analisis struktural ala Propp tehadap narasi 3 film Yesus itu mencuat
temuan menarik. Dalam ketiga film yang diteliti, sosok Yesus muncul sebagai
pahlawan (hero). Akan tetapi, ada dua
jenis pahlawan; “pahlawan yang dikorbankan” (victim hero) dalam film The King
of the Kings dan The Passion of the Christ dan “pahlawan yang mencari” (seeker
hero) dalam film The Last Temptation of Christ. Sebagai pahlawan yang
dikorbankan, Yesus adalah korban dari kelompok kepentingan yang berkonspirasi, tapi
sekaligus menyadari posisinya sebagai Kristus (messiah). Sementara Yesus
sebagai pahlawan yang mencari diliputi oleh keragu-raguan terhadap posisinya
sebagai sang messiah.
Di sisi lain, buku karya
Imam Karyadi ini sejatinya juga bisa dibaca sebagai studi terhadap genre ‘film
Yesus’ dari sisi naratifnya. Sebagaimana kita tahu, film yang mengangkat kisah
Yesus telah membentuk genre khusus yang memiliki sejarah, tradisi, konvensi
tapi juga pertumbuhan serta perkembangan sosok Yesus; sebagai Roh Kudus dalam
The King of the Kings, sosok manusia yang mengalami pergulatan spiritual yang
keras karena memanggul tugas sebagai messiah dalam The Last Temptation of
Chirst dan sebagai Roh Kudus yang menerima mahkota dari Tuhan setelah mengalami
kebangkitan dari kematian dalam The Passion of The Christ.
Proses perubahan yang
tercermin dalam ketiga film tersebut rupanya tak bisa dilepaskan dari konteks
sosial politik yang lebih luas ketika film diproduksi. Seperti ditunjukkan Imam
Karyadi dalam buku ini, film The King of Kings (1961) dirpoduksi di tengah
pasanganya politik perang dingin dan pengaruh McChartyism di Amerika. Sementara
itu, film The Last Temptation of Christ (1988) dibuat tatkala politik perang
dingin di rembang petang dan film The Passion of the Christ (2004) diproduksi
saat Amerika menyerukan perang terhadap terorisme paca peristiwa 11 September 2001.
tak aneh, film The Passion of the Christ bak ajakan kembali menengok pada inti
ajaran Kristen lewat perenungan kisa kesengsaraan Yesus di tengah ancaman
bahaya terorisme dan konservatisme politik di Amerika.
Akan tetapi, sebagai telaah yang terlampau konservatisme politik di Amerika.
Tural ala Propp buku ini tak imun dari kekurangan. Kendatipun buku ini
mengambil tajuk Yesus di Hollywood, tak cukup banyak upaya eksplorasi konvensi
film Yesus yang berkembang di Hollywood. Sebagian besar film tentang Yesus
sesungguhnya ada dalam spektrum ketegangan untuk mengungkap secara terbuka atau
terselubung serta menghilangkan atau melebih-lebihkan keterlibatan kaum Yahudi
atas kematian Yesus. Tak jarang sejumlah film menunjukkan secara ‘halus’ (melunakkan)
keterlibatan kaum Yahudi itu semata-mata agar tidak di tuduh mengusung sikap
anti-Semitisme. Film DeMille The King of The Kings (1972), umpamanya, terpaksa
harus mengubah bagian akhirnya karena protes dari kalangan Yahudi. Bahkan, film
The Passion of the Christ (2004) sejak awal telah dituduh beraroma anti-Semitisme.
Karena itu, Mel Gibson sejak awal tak letih membela filnya tidak dimaksudkan
untuk membangkitkan sikap anti-Semitisme, tapi bentuk pergulatan spiritualnya.
Akhirnya, buku ini membantu menunjukkan bagaimana ‘mitos’ dalam pelbagai
ujudnya tetap hidup pada masyarakat modern. Disini mitos mesti dimaknai bukan
sebentuk kepercayaan palsu atau lawan dari rasionalitas, melainkan-meminjam
istilah Roland Barthes-sebagai ‘tipe ujaran’ di mana film menjadi medium bagi
tumbuh dan membiaknya mitos. Dan, Hollywood tak kurang menciptakan ‘mitos’-nya
sendiri yang berkelindan dengan keyakinan dan tradisi umat kristiani.
Komentar