Suara Rakyat Suara Tuhan
Judul Buku : Suara Tuhan, Suara
Pemerdekaan
Penulis : Dr. Moeslim
Abdurrahman
Penerbit : Impulse dan Kanisius
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 296 halaman
Apa manfaat kita berdemokrasi? Pertanyaan ini muncul karena demokrasi pada
dasarnya adalah sebuah prosedur politik yang bisa dipakai untuk memperjuangkan
ide, gagasa, dan cita-cita politik apa saja. Oleh karena itu, di balik semua
jalan politik demokrasi, tidak serta-merta terkandung maksud, misalnya untuk
memperjuangkan pemerataan basis kekuasaan. Dengan demikian, setiap pengambilan
keputusan melibatkan representasi yang luas, tidak hanya dikuasai oleh kalangan
atas atau kelompok-kelompok tertentu.
Dalam perkembangannya, demokrasi yangn disimbolkan sebagai electoral system
malah dalam kenyataannya sering menimbulkan berbagai keadaan yang tidak membawa
perubahan ke arah yang positif. Bahkan sering kali melahirkan kekacauan, keributan,
dan menjadi ajang untuk merebut kekuasaan. Rakyat yang menjadi subjek demokrasi
tidak pernah menikmati hasil ‘pesta’ demokrasi.
Moeslim Abdurrahman, melalui buku Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan, ini
menawarkan adanya simbol kekuatan politik rakyat yang baru, terutama yang berorientasi
politik berbasis komunitas, yang mampu memberikan ruang politik bagi rakyat
untuk bersuara. Tentunya ini semua di luar formasi kepartaian dan kekuasaan
formal yang sekarang memang tidak populer lagi bagi kalangan masyarakat. Simbol
politik menjunjung keragaman ide dan aspirasi politik yang memang diperlukan.
Menurut Moeslim, diperlukan
simbol perjuangan bersama dengan muara yang sama, yakni membuka sirkulasi
kepemimpinan rakyat agar muncul pemimpin nasional yang baru sehingga terjadi
sirkulasi sejarah baru bagi bangsa yang lebih berdaulat di masa depan. Dengan demikian, rakyat
tidak lagi lelah dan mengalami distorsi kepemimpinan seperti yang dirasakan
selama ini.
Melalui buku ini, Moeslim menilai, politik yang tumbuh di tengah-tengah
masyarakat tak ubahnya sebagai maraknya papan nama partai, Rakyat dimobilisasi
dalam kesadaran leader and followers, bukan sebagai warga negara yang kritis
secara politik. Jadi, ada kekosongan di tengah-tengah antara struktur partai
dan subkultur primordialisme tersebut, yang di zaman orde Baru diisi dengan
indoktrinasi Pancasila yang represif dan GBHN yang memuat rancangan Pelita demi
Pelita yang menekan pertumbuhan ekonomi tanpa partisipasi rakyat yang memadai. Rakyat,
memang, banyak dijadikan sebagai objek GBHN.
Sekarang, kekosongan itu telah diisi dengan retorika ‘demokrasi’ dalam
pengertian pertimbangan menjunjung ‘kebebasan’. Kalau diperhatikan, proses
demokrasi seperti ini pasti menjauhkan harapan tentang kemungkinan terjadinya
perubahan menuju emansipasi sosial.
*) Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 4 Mei 2009
Komentar