Menggagas Pendidikan Moral
Judul Buku : The Art of
Learning
Penulis : Josh Waitzkin
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, April 2009
Tebal : xxiii + 374 halaman
Sudah berabad-abad yang lalu
para filosof menyatakan bahwa seorang anak pada dasarnya adalah sebuah kertas
putih yang bersih dan apakah kelak di kemudian hari ia akan menjadi manusia
berguna atau ngelantur sangat tergantung dari pendidikan yang akan diperolehnya,
baik itu pendidikan yang bersifat formal maupun non formal. Setiap orang tua
pun akan senantiasa berharap bahwa anak-anak mereka suatu saat nanti dapat
menjadi orang kesatria yang punya moralita dan etika.
Josh Waitzkin, penulis buku
The Art of Learning ini, juga berkeyakinan bahwa penanaman awal nilai-nilai
kedisiplinan, moralita dan etika yang dilakukan pada masa balita akan sangat
berpengaruh terhadap pembentukan persepsi hati nurani (superego) seseorang
tatkala ia mulai beranjak dewasa. Superego tersebut tentunya akan pula
berpengaruh menentukan arah keseluruhan perilaku individu, termasuk bagaimana
kecenderungannya nanti saat ia mulai memakai hal-hal baik atau buruk yang
berkaitan dengan dimensi pengetahuan, maupun perjalanan akhlak kehidupan
beragama dirinya berikut pemahaman moralita dan etika yang mungkin telah
diperolehnya semasa di bangku kuliah atau pun di lapangan pertarungan yang riil.
Di Indonesia, renungan
mengenai moralita dan etika menjadi perbincangan para dosen di Perguruan Tinggi;
dengan munculnya wacana yang menganggap bahwa salah satu sumber krisis multi
dimensional yang kini tengah kita hadapi sesungguhnya adalah akibat merosotnya
pelaksanaan prinsip-prinsip menegakan moralita dan etika dalam tatanan sendi
kehidupan masyarakat, kebangsaan dan kenegaraan. Patut diakui secara jujur
bahwa kelembagaan pendidikan tinggi sebagai institusi yang melahirkan
intelektual praktisi profesional dan sekaligus tenaga akademisi, secara
langsung atau tidak langsung turut bertanggungjawab dalam proses terjadinya
kemerosotan tatanan moralita dan etika masyarakat dewasa ini.
Sumber daya manusia (SDM) yang
dilahirkan melalui proses pendidikan tinggi di alam kemerdekaan, yang sedianya
diharapkan menjadi penyangga dan pembaharu terhadap tegaknya tatanan moralita
dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, malahan
terperosok di arus sesat untuk ikut-ikutan tergelincir pada pola perilaku
pragmatisme semata.
Berjalan seiring dengan
zaman yang memang menonjolkan keangkuhan dan keyakinan pemikiran tentang
paradigma muluk mengenai adanya mimpi perihal pertumbuhan ekonomi yang akan
menetes ke bawah dengan sendirinya sebagai satu-satunya pilihan kita agar mampu
lolos dari belitan kemiskinan. Akibatnya, kandungan moralitas, agama dan etika,
juga tatakrama tidak lagi dikembangkan sebagai way of life generasi pengambil
keputusan saat ini namun lebih merupakan slogan dan retorika kekuasaan semata
dalam rangka merangkul maupun menyingkirkan lawan-lawan politiknya, atau
sekedar kemasan bagi ideologi politik yang tengah dianutnya.
Menurut Waitzkin munculnya
perilaku fiksasi maupun regresi bangsa di dalam proses perkembangan pemahaman
moralita dan etika semakin terlihat dengan hadirnya ketidakmampuan insan
Perguruan Tinggi sewaktu mengurai suatu sistem berpikir yang taat azas antara
agama dengan ilmu pengetahuan; berupa munculnya rakitan-rakitan sintesa
pemikiran antara kaidah-kaidah moralita dan etika dengan kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan, yang seringkali terasa rancu dan terlalu dipaksakan.
Misalnya saja, kita akan
menjumpai fenomena menarik tatkala menyaksikan usaha-usaha penyampaian pesan
keilmuan dan pesan keagamaan, melalui model perilaku pergantian peran, dimana
seorang dosen atau pendidik yang ilmuwan berperan sebagai ulama yang mencari
pembenaran atas disiplin keilmuannya melalui dalil-dalil keagamaan. Sebaliknya,
ada pula ulama yang berperan menjadi ilmuwan yang mencoba menalarkan agama
dengan dalil-dalil keilmuan untuk pembenaran agamanya sekaligus untuk mengubah
citra tradisional ke citra modern dari status keulamaannya.
Disamping itu, terdapat pula
ilmuwan yang kurang peduli dengan kaidah moralita dalam menyampaikan disiplin
ilmu mereka; serta ada pula dosen agamawan yang kurang peduli dengan
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dari fenomena-fenomena di atas dapat
kiranya terlihat masih adanya nuansa kesenjangan antara pemahaman terhadap
logika agama, moralita dan etika dengan pemahaman logika disiplin keilmuan yang
ditekuninya.
Kesenjangan lainnya
berangkat pula dari adanya perbedaan kultural antara asal muasal pengetahuan
yang di ajarkan yang sebahagian besar bersetting Barat yang bertolak belakang
dengan suasana kemasyarakatan tempat pengajarannya yang bersetting Indonesia
dengan kandungan moralitas dan etika yang khas pula. Kesenjangan-kesenjangan
seperti ini melahirkan berbagai kegagalan kita semua dalam menciptakan sistem, kurikulum
dan metodologi pendidikan moralita dan etika yang terintegrasi, konsisten dan
terpadu dengan disiplin ilmu pengetahuan yang hendak diajarkan; yang mencakup
hampir di setiap jenis dan strata pendidikan formal, khususnya di lingkungan
perguruan tinggi, dimana sebahagian besar lulusannya akan terserap di sektor
bisnis dan sebahagian lagi terserap di sektor publik.
Dampak yang muncul
dikemudian hari adalah retaknya kepribadian kolektif dari para alumni hasil
pendidikan tinggi ini yang akhirnya memunculkan kecenderungan perilaku yang
bercirikan inkonsistensi antar nilai, baik pada tahapan ideal-self maupun real-selfnya,
berupa lahirnya pola-pola kinerja yang egosentrik, manipulatif, monopolistik, kolufit,
dan peranoid.
Menyaksikan warna zaman yang
seperti ini tentunya sangatlah menyedihkan dan menyakitkan. Semoga saja, dengan
bangkitnya jiwa semangat nasionalisme, lahir dorongan dalam diri kita semua
untuk kembali memikirkan program internalisasi nilai-nilai moralita dan etika
yang sanggup menjadi bingkai persepsi bagi masyarakat agar mampu memilah-milahkan
mana perilaku yang baik dan salah, mana yang baik dan buruk, mana yang sportif
dan bertanggungjawab, mana yang curang dan serampagan.
Melangkah ke mana mendatang
ini dalam perspektif Waitzkin, nampaknya akan terdapat beberapa isu penting
yang berkaitan erat dengan dimensi moralita dan etika, menyangkut isu-isu
seputar lingkungan hidup, keselamatan konsumen, kesehatan dan keselamatan pekerja
dan kerahasiaan informasi; mendampingi beberapa isu moralita dan etika yang
sudah menjadi klasik, seperti fenomena buruh anak-anak, diskriminasi gender, kesenjangan
upah dan gaji, pengingkaran hak cuti, PHK, jaminan hari tua dan objektivitas
penilaian prestasi kerja.
Terlepas dari segala
kelebihan dan kekurangan edisi terjemahannya, saya rasa kehadiran buku ini
penting untuk dibaca, bukan saja oleh para akademisi, praktisi, mahasiswa, tapi
juga dari kalangan masyarakat secara luas sebagai bahan refleksi menuju
perbaikan moralita dan etika bangsa kita dimasa depan.
*) Tulisan ini dimuat di
Seputar Indonesia, 12 April 2009
Komentar