Teologi Pembebasan Islam Mengenai HIV & AIDS
Judul Buku : AIDS dalam Islam; Krisis Moral atau Krisis Kemanusiaan?
Penulis : Ahmad Shams Madyan
Penerbit : Mizan
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 179 halaman
Buku AIDS dalam Islam: Krisis Moral atau Krisis Kemanusiaan? ini layak
mendapat sambutan hangat. Sang penulis, seorang intelektual muda Muslim, secara
kritis dan dengan bahasa yang mengalir lancar serta mudah dipahami berani
menampilkan masalah yang selama ini banyak orang memilih tidak membicarakannya,
sehingga seperti fenomena gunung es. Meskipun HIV dan AIDS sudah di depan mata
dan bisa menulari mereka yang tak berdosa seperti kisah Vivi dan Mahmudah dalam
buku ini, masih banyak terjadi penyangkalan atau sikap menghukum. Kita bisa
mendengar komentar seperti ”Ah, itu kan mereka, bukan saya,” atau “Mereka
pantas mendapat hukuman seperti itu.”
Memang rasa sakit itu bersifat personal, kita tidak merasakannya, dan hanya
dirasakan oleh yang bersangkutan saja. Tetapi ketika sakit itu menimpa orang
yang kita cinta seperti anak, istri, suami atau keluarga lainnya, barulah kita
sadar bahwa sebetulnya sakit, termasuk HIV dan AIDS adalah sebuah isu publik. Saat
kita membawa orang yang kita cinta berobat ke rumah sakit. Puskesmas, atau
praktik dokter swasta, kita berhadapan dengan sebuah sistem yang mengatur
segalanya. Misalnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk obat, dokter, perawat,
dan sebagainya. Semua sudah diatur dan kita tinggal menurut saja. Bagi yang
berduit, mungkin tidak ada masalah. Mereka bahkan bisa memilih kelas dan
kualitas pelayanan. Tapi, bagaimana jika kita tidak mampu?
Pada saat seperti inilah baru kita sadar betapa tidak berdayanya diri kita
dalam suatu sistem kehidupan yang penuh aturan. Kita sadar betapa pentingnya
solidaritas sosial, dukungan dari masyarakat, rasa empati dan simpati, syukur-syukur
kalau ada dukungan finansial guna meringankan beban. Kita sadar pula betapa
tidak bergunanya sifat egoistis, menghakimi, dan menghujat. Sebagai muslim, pada
saat seperti ini kita merindukan sapaan yang menyejukkan hati dari sesama
Muslim. Bukanlah Rasulullah Saw bersabda bahwa sesama Muslim itu bagaikan satu
tubuh; jika satu bagian sakit, bagian lain akan turut merasakannya? Inilah
waktu yang tepat untuk membuktikan kebenaran sabda Nabi tersebut.
Islam bisa menjadi sumber inspirasi untuk perilaku mulia menyangkut
hubungan antar-manusia serperti itu. Al-qur’an dengan jelas menyatakan bahwa
diutusnya Nabi muhammad Saw adalah untuk membawa rahmat bagi semesta alam (QS
Al-Anbiya’:107). Islam adalah agama pembawa rahmat yang sarat dengan ajaran
tentang kedamaian, kasih sayang, tolong-menolong, menghargai hak dan keadilan
bagi orang lain. Tak satu pun ajaran Islam yang membolehkan seseorang mengutuk
dan menghakimi orang lain sebagai pendosa, karena itu adalah hak prerogatif
Allah Swt. Dikisahkan bahwa Nabi Muahammad Saw., yang terjaga dari dosa, tidak
pernah melaknat atau mengutuk orang sebagai pendosa. Beliau mengatakan bahwa
beliau diutus untuk membawa rahmat, bukan laknat. Bagaimana mungkin kita yang
manusia biasa, tak terhindar dari dosa, bisa mengatakan orang lain sebagai
pendosa? Yang bisa kita lakukan sebagai sesama manusia sebenarnya hanyalah
mengingatkan dengan baik dan mendoakan semoga Allah Swt menunjukkan jalan yang
lurus.
Etika dan moralitas adalah tujuan akhir Islam seperti sabda Nabi Muhammad
Saw., “Sesungguhnya aku diutus untuk semesta alam: dan ‘penyempurnaan
akhlak”…betapa gunanya ajaran agama Islam. Seandainya kaum Muslim mengahayati
dan mempraktikkan kemuliaan akhlak sebagaimnaa dicontohkan Nabi Muhammad Saw., pasti
dunia akan penuh dengan kasih sayang dan kedamaian. Tak ada orang yang
mengklaim diri sebagai yang paling benar dan menyalahkan orang lain.
Sayang sekali, justru sisi kemanusiaan inilah yang menjadi ‘defisit’ kaum
Muslim. Berbagai masalah kemanusiaan dihadapi hampir di seluruh dunia. Kemiskinan,
kebodohan, rendahnya status perempuan, buruknya status kesehatan dan pendidikan
nyaris menjadi pemandangan sehari-hari di masyarakat Muslim. Islam anti-kemiskinan
karena kemiskinan mendekati kekafiran, tapi mayoritas Muslim adalah miskin. Islam
anti-kebodohan karena tiap Muslim wajib mencari ilmu, tapi kenyataannya berbeda.
Islam mengangkat derajat perempuan, memberi mereka hak dan status yang setara
dengan laki-laki, tapi kenyataannya status perempuan di banyak masyarakat
Muslim sangat memprihatinkan. Islam anti-kekerasan, tapi justru banyak
kekerasan dilakukan dengan dalil agama. Jadi, ada jarak yang lebar antara
ajaran kemanusiaan Islam dan kenyataannya. Banyak ajaran agama kita yang seolah-olah
menjadi retorika belaka.
Tantangan kita sebagai Muslim adalah bagaimana membumikan ajaran
kemanusiaan ini. Bagaimana agar kaum Muslim bersikap adil, ramah, dan membela
mereka yang tertindas. Bagaimana agar kaum Muslim tidak memberi stigma atau
label pada penyandang HIV dan AIDS, misalnya, adalah salah satu tugas
kemanusiaan kita. Dengan demikian, Islam akan menjadi sebuah living religion, agama
yang hidup, dinamis dan bukan statis, yagn menyapa dan menawarkan solusi pada berbagai
problem kemanusiaan yang dihadapi penganutnya.
Buku ini tampaknya berusaha untuk kearah itu. Dengan membaca buku ini, saya
semakin tersadar betapa besar tugas kita guna menampilkan indahnya ajaran
kemanusiaan dalam Islam. Sebagai seorang Muslim dan antropolog medis yang
berkhidmat dalam pembelaan bagi mereka yang tertidas dan terpinggirkan, saya
berbangga kepada saudara Ahmad Shams Madyan atas inisiatif ini. Semoga upaya
yang insya Allah dilandasi keikhlasan ini dicatat sebagai amal jariah bagi sang
penulis. Insya Allah pula, buku ini akan menjadi inspirasi bagi upaya-upaya
serupa dibidang seperti kesetaraan gender, penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, dan sebagainya.
Komentar