Pendidikan dan Dekadensi Moral Bangsa
“A primary function of school is the passing on of the
knowledge and behaviours necessary to maintain order in society. Since children
learn to be social beings and develop appropriate social values though contact
with others, schools are an important training ground.” (Ballantine 1983)
Bangsa kita saat ini menghadapi persoalan yang amat pelik dilihat dari
ukuran moralitas. Bangsa ini mengalami berbagai kesulitan yang diakibatkan
semakin memudarnya dan atau bahkan semakin rusaknya moralitas sebagian penyelenggara
negara. Karena mereka memiliki akses pada mengambilan keputusan penting,
perilaku mereka sangat berpengaruh pada kesejahteraan atau kesengsaraan jutaan
penduduk lain yang tidak tahu menahu asal muasal datangnya berbagai kesulitan
hidup yang dihadapi.
Terhadap kenyataan ini,
pendidikan perlu direkonstruksi kembali agar bisa menjadi terapi bagi
terjadinya dekadensi moral yang terjadi saat ini. Hal ini bukan tidak mungkin
dilakukan karena pendidikan pada hakekatnya dapat difungsikan sebagai
instrument untuk melakukan koreksi dan rekonstruksi terhadap
kesalahan-kesalahan praktik kehidupan yang ada di dalam masyarakat jika kita
memandangnya dari posisi filosofi pendidikan reconstructionism
(Beane, 1986).
Sebenarnya banyak aliran
filsafat yang dapat dijadikan acuan bagi upaya penegakan moralitas melalui
proses pendidikan. Landasan filsafat apapun perlu kita cari relevansinya dengan
kondisi dan tantangan kehidupan nyata dalam masyarakat kita agar pendidikan
mampu memberikan kontribusi yang positif bagi penegakan moralitas bangsa yang
sedang menghadapi krisis multi dimensi ini.
Mencari landasan rumusan
dasar filosofis pendidikan untuk mengembangkan moralitas bangsa perlu diawali
dari pertanyaan mengenai masyarakat macam apakah yang ingin kita bangun melalui
sektor pendidikan. Kemudian kita perlu bertanya manusia seperti apakah yang
akan mengisi masyarakat yang bersangkutan. Secara tentatif barangkali kita bisa
merumuskan masyarakat yang demokratis yang ingin kita bangun di masa yang akan
datang. Kemudian orang-orang yang akan menghuni masyarakat itu ialah
orang-orang yang bertanggung jawab, berdisiplin, jujur, memiliki kemandirian,
memahami hak dan kewajibannya sebagai individu maupun sebagai kelompok, dan
sebagainya.
Kenyataannya masyarakat
yang kita hadapi saat ini masih jauh dari seperti yang kita rumuskan di atas,
meskipun rumusan filosofis itu masih bersifat tentatif. Oleh karena itu proses
pendidikan disemua jenjang dan jalur perlu melihat realitas masyarakat kita yang
sebenarnya. Saat ini masyarakat kita sedang mengalami sakit yang sudah akut. Kekerasan
merajalela, disintegrasi sosial tumbuh secara nyata, intoleransi semakin
merebak dalam berbagai aspek kehidupan, korupsi dilakukan secara
terang-terangan dan tidak punya rasa malu lagi. Bahkan arogansi kekuasaan,
kekayaan, dan arogansi intelektual juga sedang terjadi.
Sejalan dengan ini
landasan filosofis apapun yang akan digunakan dalam proses pendidikan perlu
berorientasi pada hakikat terjadinya rekonstruksi sosial. Sehingga berbagai
bentuk penyakit sosial yang saat ini menggejala dan terjadi dapat dipecahkan
melalui proses pendidikan secara tersistem dan berkelanjutan. Pendidikan,
dengan demikian merupakan salah satu instrumen perubahan yagn mampu melakukan empowerment bagi masyarakat melalui
berbagai program yang mencerminkan adanya rekonstruksi sosial.
Dengan pendekatan
ini berbagai pathologi sosial, penyimpangan praktik-praktik kehidupan
sosial-kemasyarakatan dapat dianalisis, dan kemudian dicarikan solusinya melalui
proses pendidikan yang relevan dengan berbagai persoalan yang dapat dihadapi
oleh masyarakat. Jadi disini pendidikan perlu dimaknai dan dimanfaatkan sebagai
instrumen untuk melakukan social
engineering agar kita mampu membangun social capital yang efektif. Membangun social capital saat ini sangat relevan
dengan persoalan yang dihadapi. Mengapa begitu? Karena kita telah lama bergulat
dengan persoalan nilai yang tidak kunjung ada kejelasannya.
Kauzes dan Posner
(2002) menjelaskan betapa pentingnya social
capital saat ini dengan menyatakan “Intellectual capital is no langer supreme. It is still true that those
with educational degrees have higher incomes and more opportunity, and it’s
still true that an organization’s fitness to compete is dependent upon the
mental fitness of the workforce.”
Seiring dengan adanya
gerakan reformasi, pendidikan harus dirumuskan kembali orientasi filosofisnya. Dengan
orientasi yang baru itu pendidikan tidak hanya mengajarkan persoalan-persoalan cognitive domain semata, dengan
mengabaikan aspek moral and social action. Karena
moral and social action itulah
yang justru harusnya mendapat perhatian dalam skala yang lebih tinggi agar
pendidikan mampu membentuk peserta didik menjadi good and responsible citizen sebagai ultimate goal yang seharusnya dicapai
dalam proses pendidikan.
Dengan pendekatan
seperti itu, kita akan mempu menanamkan moral
and social skills kepada peserta didik agar kelak mereka mampu
memahami toleransi, perbedaan pendapat, empati, pluralisme, kejujuran, kesadaran
hukum, tertib sosial, hak asasi manusia, demokratisasi berbagai aspek
kehidupan, local wisdom, dan
sebagainya.
Local wisdom perlu mendapat perhatian
untuk dikembangkan dalam pendidikan agar kita mampu merancang program
pendidikan yang memiliki keberpihakan, keberpijakan, dan dengan demikian
membumi pada tradisi luhur dan tata aturan bermasyarakat di daerah setempat. Dengan
demikian kita dapat menghindarkan diri dari kekhawatiran kemungkinan hilangnya
jati diri sebagai warga negara akibat adanya globalisasi yang berjalan semakin
cepat.
Komentar