Garebeg; Sumber Kearifan Keraton
Garebeg atau gerbeg dalam bahasa Jawa memiliki makna
‘suara angin menderu’. Sedangkan kata hanggarebeg
mengandung makna ‘mengiring raja, pembesar, atau pengantin’ (Soelarto,
1980:27). Sedangkan kata ‘garebeg’ di Kraton Yogyakarta mempunyai makna khusus
yaitu upacara kerajaan yang diselenggarakan untuk keselamatan Negara (wiujengan negari), yaitu berupa keluarnya
gunung dari keraton untuk
diperebutkan oleh para pengunjung sebagai kucah
dalem (sedekah raja) untuk rakyatnya. Upacara Garebeg yang
dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta terdiri dari tiga macam, yaitu Garebeg Mulud untuk memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad s.a.w, Garebeg
Syawal untuk merayakan hari raya Idul Fitri, dan Garebeg Besar untuk merayakan hari raya
Idul Adha. Jadi setiap tahun Kraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara garebeg
sebanyak tiga kali.
Garebeg Mulud diselenggarakan pada setiap tanggal 12
bulan Mulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Garebeg
Syawal diselenggarakan setiap tanggal 1 bulan Syawal untuk merayakan hari
kemenangan umat Islam setelah selama sebulan penuh menjadi ibadah puasa di
Bulan Ramadlan. Garebeg Syawal sering
juga disebut Garebeg Pasa atau Garebeg Bakda yang maksudnya upacara Garebeg
yang diselenggarakan sehabis puasa pada bulan suci Ramadhan. Sedangkan Garebeg
Besar diselenggarakan setiap
tanggal 10 bulan Dzulhijah untuk memperingati hari raya Haji atau hari raya
Idul Adha. Disebut Garebeg Besar karena
hari raya ‘Idul Adha’ juga disebut al-ied
al kabir yang mempunyai makna ‘perayaan besar’, maka bulan
Dzulhijah untuk Idul Adha disebut ‘Garebeg Besar’.
Untuk ‘Garebeg Mulud’, setiap delapan tahun sekali,
yaitu setiap jatuh pada Bulan Mulud tahun Dal, Kraton Yogyakarta
menyelenggarakannya secara istimewa, yang disebut ‘Garebeg Mulud Dal’. Dalam
upacara tersebut perayaan lebih meriah, dan perlengkapannya juga lebih banyak.
Pengistimewaan perayaan upacara Garebeg Mulud pada tahun Dal tersebut dengan
keyakinan bahwa Nabi Muhammad s.a.w lahir pada tanggal 12 Bulan Maulud tahun
Dal. Oleh karena itu, perayaan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
pada tahun Dal di buat lebih istimewa dibandingkan dengan pada tahun-tahun yang
lain.
Dalam tarikh Jawa-Islam di kenal adanya perhitungan
siklus delapan tahun yang disebut windu. Dalam satu windu ada delapan tahun
dalam urutan sebagai berikut; Alip, Ehe,
Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir.
Dimensi Sakral
Proses penyelenggaran upacara Garebeg terdapat dua
jenis persiapan yang harus dilakukan, yaitu persiapan fisik dan persiapan non
fisik. Persiapan fisik berwujud benda-benda dan perlengkapan-perlengkapan yang
diperlukan dalam penyelenggaraan upacara, sedang non fisik berwujud sikap dan
perbuatan yang harus dilakukan pada waktu sebelum pelaksanaan upacara.
Sejak beberapa waktu menjelang upacara Garebeg, para abdi dalem yang nantinya terlibat di
dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan diri. Terutama mempersiapkan mental
mereka, untuk mengemban tugas yang dianggap sakral tersebut. Untuk itu mereka
harus mensucikan diri dengan melakukan puasa dan siram jamas. Perayaan upacara Garebeg melibatkan seluruh
warga kraton dan segenap aparat kerajaan dari yang berpangkat tinggi sampai
yang rendah.
Sebelum rangkaian acara pembutan gunungan dimulai
terlebih dahulu diadakan selamatan untuk memohon kepada Tuhan agar semua tugas
dapat terlaksana dengan selamat dari awal sampai akhir. Selamatan tersebut
berupa nasi gurih, lengkap dengan lauk pauknya seperti daging ayam, pecel,
sambal gore, dan bermacam-macam gorengan seperti rempeyek, krupuk, dan tempe
goreng, ditambah ketan, kolak dan apem. Setelah diadakan selamatan, baru
pembuatan makanan untuk perlengkapan gunungan mulai dikerjakan.
Nilai Mistik
Dalam upacara Garebeg Mulud, satu Gunungan Kakung
yang akan diserahkan ke Pura Pakualaman, mengusungnya di barisan paling
belakang, yaitu belakang pasukan Prajurit Sukokarso. Adapun berpencarnya dengan
gunungan yang akan di bawa ke Mesjid Besar adalah di depan Ringin Kurung. Di tempat itu, gunungan
yang akan di bawa ke Mesjid Besar berbelok ke kiri, sedangkan gunungan yang
akan dibawa ke Pura Pakualaman terus ke utara, dengan diapit oleh Prajutit
Pakualaman. Dalam Arak-arakan gunungan yang akan dibwa ke Pura Pakualaman
tersebut berada di paling depan, sebagai penunjuk jalan, adalah gajah
alun-alun. Di belakang gajah berbaris Prajutit Lombok Abang, disusul pasukan
para Bupati, diikuti usungan gunungan, ditutup pasukan Prajurit Pakualaman yang
bernama Drah Guder (sorodadu)
dengan pakaian seperti ‘serdadu’ Belanda, yang disebut Plangkir.
Adapun perjalannya, dari Alun-alun Utara terus ke
utara melewati Pangurakan dan Kantor Pos lalu berbelok ke timur sampai ke Pura
Pakualaman. Di depan Pura Pakualaman, gunungan tersebut diserahkan oleh petugas
dari Kraton kepada Sri Paduka beserta para sentana mengambil apa yang
diinginkan, setelah itu gunungan dibawa ke Masjid Pakualaman untuk diperebutkan
para pengunjung.
Barisan arak-arakan gunungan di beri penghormatan
dengan tembakan salvo sebanyak tiga kali. Salvo pertama dibunyikan pada saat
gunungan dan pendhereknya berada
di Pagelaran. Salvo kedua dibunyikan pada saat gunungan tepat berada di depan
para prajurit. Sedangkan salvo ketiga dibunyikan pada saat gunungan mulai
membelok ke barat menuju Masjid Besar.
Pada jaman dahulu, pada saat salvo dibunyikan, para
pengunjung ikut membunyikan cambuk. Apabila bunyi cambuk tepat bersamaan dengan
bunyi salvo maka cambuk tersebut di anggap dapat menjinakkan ternak dan akan
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit. Sementara itu pengunjung wanita
berjalan-jalan sambil menusuk-nusukkan ani-ani
(alat pemotong padi) pada sunggulnya dengan harapan ani-ani tersebut akan mendatangkan
kesuburan dan keberhasilan bagi pertanian mereka.
Reinterpretasi Nilai Kepercayaan
Dalam sistem kepercayaan masyarakat ada dua substansi
yang mendasar, yaitu substansi manusia sebagai pemeluk kepercayaan dan
substansi yang dipercayai. Dalam kehidupan religius nyaris pada setiap langkah
manusia melalui serangkaian ritus-ritus, yang merupakan simbol untuk mengungkap
perasaan hati dalam hubungannya seseorang dengan substansi yang dipercayainya.
Digunakanya ritus garebeg sebagai simbol, karena dalam hubungannya dengan “yang
dipercayai” itu, manusia sering tidak mampu dan tidak mempunyai alat untuk
menjelaskan.
Ritus-ritus dalam kepercayaan masyarakat ini memiliki
makna nilai bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu apabila manusia dapat
menghayati dengan benar makna dan nilai-nilai ritus garebeg, maka akan terwujud
sifat-sifat budi luhur seperti akan muncul sebuah kearifan yang menjadikan
manusia selalu dekat dengan Tuhan dan dapat mewujudkan kedamaian, kesejahteraan
dan keindahan dunia beserta isinya.
*) Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 21 Pebruari 2009
*) Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 21 Pebruari 2009
Komentar