Bahaya Neoliberalisme Pendidikan
Paham neoliberal telah merasuki para pemikir
pendidikan di dunia. Dikatakan John Williamson, bahwa pendidikan menjadi
sebagai komoditi dan tunduk kepada hukum pasar. Pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang membutuhkan biaya besar maka orang berlomba-lomba membuat
sekolah-sekolah yang mahal dengan bayaran tinggi. Lahirlah sekolah-sekolah
elite yang hanya menampung anak-anak dari keluarga kaya. Pendidikan menjadi
tidak demokratis dan hanya merupakan milik lapisan masyarakat yang berada.
Sekolah-sekolah mementingkan apa yang berguna
berdasarkan paham pragmatisme, artinya menyediakan pelajaran-pelajaran yang
berguna untuk kehidupan yang sekarang. Dengan demikian sekolah bukanlah
mengasah kemampuan intelektual untuk hidup secara cerdas tetapi yang dapat memberikan
keuntungan yang lebih banyak bagi yang menguasainya. Academic excellence bukan merupakan
tujuan dalam pendidikan. Yang terpenting ialah menghasilkan keterampilan
ataupun penguasaan-penguasaan ilmu-ilmu praktis yang segera dapat memberikan
manfaat pada yang memilikinya.
Sekolah-sekolah kejuruan dilihat sebagai tempat untuk
menguasai ilmu pengetahuan terapan dan bukan, misalnya untuk mengasah akal budi
dan menikmati seni. Pada tingkat pendidikan tinggi muncullah
perspektif-perspektif baru yaitu komersialisasi pendidikan tinggi. Pendidikan
tinggi bukan lagi dilihat sebagai lembaga yang memberikan kenikmatan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan tetapi dikembangkan untuk memperoleh lisensi yang
dibutuhkan oleh dunia kerja dengan bayaran yang tinggi.
Komersialisasi pendidikan tinggi dapat mengarah
kepada apa yang disebut McDonaldisasi pendidikan yaitu penyajian
program-program studi segera memberikan keuntungan, efisien, cepat layan tanpa
memperhitungkan kualitas. Selanjutnya McDonaldisasi pendidikan tinggi
melahirkan apa yang disebut budaya corporate (corporate culture) di dalam manajemen pendidikan tinggi.
Lembaga pendidikan tinggi tidak lagi dilihat sebagai lembaga untuk
mengembangkan, mencari solusi-solusi kehidupan masyarakat, tetapi lebih
dipandang sebagai lembaga untuk mencari keuntungan.
Corporate culture juga merasuki kehidupan para dosen.
Dosen akan berlomba-lomba memasuki perguruan tinggi yang memberikan gaji baik.
Pertimbangan-pertimbangan untuk menjadi dosen bukan karena kecintaanya terhadap
ilmu pengetahuan tetapi didorong oleh motif mendapatkan bayaran yang dianggap
setimpal dengan keahliannya. Kita lihat misalnya, akhir-akhir ini pemilihan
dekan di lingkungan perguruan tinggi telah mengikuti cara-cara yang dilakukan
di dalam perusahaan-perusahaan yaitu menggunakan ‘head hunter’.
Kebanggaan para dosen yang mempunyai kemampuan untuk
mengabdikan kemampuan itu sebagai administrator dari luar yang tertarik karena
pertimbangan-pertimbangan komersial. Dalam dunia mahasiswa komersialisasi juga
akan tampak, misalnya di dalam pemilihan bidang studi. Bidang studi yang tidak
mempunyai pasarannya di dalam masyarakat tentunya tidak akan diminati oleh para
mahasiswa.
Demikian pula para staf administrator sebagai manajer
pendidikan terbuka untuk siapa saja bukan hanya dari kalangan pendidikan tinggi
tapi juga dari luar terutama dunia bisnis. Sudah dapat dibayangkan korps
administrator pendidikan tinggi akan diatur oleh para manajer bisnis
berdasarkan kemampuannya untuk menjalankan lembaga pendidikan, bukan sebagai
lembaga yang mengatur kehidupan intelektual dari suatu kampus ilmu pengetahuan,
tetapi sebagai manajer dari lembaga bisnis.
Bahaya Neoliberalisme
Henry A. Giroux seorang pakar pendidikan kritis
mempertanyakan mengenai bahaya neoliberalisme di dalam pendidikan modern dewasa
ini. Neoliberalisme menurutnya merupakan suatu ideologi yang sangat berbahanya,
sebab pada dasarnya, neoliberalisme menghancurkan segala hal yang merupakan
milik pabrik, merusak nilai-nilai demokratis karena tunduk kepada
fundamentalisme dasar. Nilai-nilai sosial yang luhur telah direduksi sebagai
nilai-nilai yang tunduk kepada pertimbangan-pertimbangan komersial,
privatisasi, dan deregulasi.
Apabila pandangan neoliberalisme ini telah dapat
terlihat di dalam bidang pendidikan sebagai milik publik, maka yang serupa akan
terjadi pula di dalam lembaga-lembaga masyarakat lainnya, di dalam
lembaga-lembaga keagamaan, sarana informasi seperti surat kabar, radio,
televisi, yang telah merampas hak-hak publik.
Apabila pendidikan tinggi telah masuk perangkap
korporasi yang mempunyai modal yang kuat maka sebenarnya pendidikan tinggi
telah kehilangan identitasnya. Segala sesuatu akan mengikuti sang majikan dan
kegiatan-kegiatan di dalam kampus telah merupakan kegiatan-kegiatan bisnis.
Program dan pokok-pokok pendidikan mengikuti pesanan dari corporate yang memberikan dana yang
dibutuhkan oleh universitas. Jika pada permulaan para corporate bersembunyi di
balik donor atau sumbangan kepada universitas, lambat laun donor atau sumbangan
sukarela tersebut merupakan suatu kewajiban yang tunduk pada ‘supply and
demand’.
Langkah Perlawanan
Apakah ada cara untuk menentang cengkeraman dari
corporate culture yang dibawa oleh paham neoliberal? Apabila neoliberalisme
menjadi demikian besar, tidak ada suatu kekuatan yang dapat menandingi karena
kekuatan neoliberalisme telah merampas ruang-ruang publik yang ada. Oleh sebab
itu corporate culture hanya dapat ditentang oleh keberadaan civil society,
dengan adanya anggota masyarakat yang kritis. Hanya dengan sikap kritis dapat
dibangun kekuatan civil society dalam kampus pendidikan tinggi.
Hal ini berarti, apabila para dosen, mahasiswa, para
administrator pendidikan tinggi menggalang kekuatan yang besar untuk melepaskan
diri dari cengkeraman corporate culture, maka hal ini dapat terjadi hanya
apabila mendapat support dari kekuatan politik atau dari masyarakat luas.
Dengan kata lain hanya di dalam lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola secara
demokratis yang dapat bertahan dari ancaman corporate culture.
Oleh sebab itu, komite sekolah, dewan sekolah,
majelis amanah pendidikan tinggi akan menempati ruang-ruang publik yang
berfungsi mengontrol kekuatan-kekuatan corporate culture. Lembaga-lembaga
tersebut merupakan suatu lembaga civil society di mana kebutuhan umum lebih
dipentingkan daripada pertimbangan-pertimbangan komersial.
Komentar