Membedah Kesalahan Lima Pemimpin Indonesia
Judul Buku : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Penulis : Ishak Rafick
Pengantar : Rizal Ramli
Penerbit : Ufuk Publishing House
Cetakan : I Januari 2008
Tebal : 440 halaman
Ishak Rafick adalah seorang jurnalis yang memiliki pengalaman belasan tahun,
menulis berbagai artikel tentang ekonomi politik, korporasi, menajemen dan lain-lain.
Ishak yang alumnus Universitas Indonesia ini, juga mendapatkan gelar Master of
Art dari Rijks Universiteit Leiden Netherland dengan tesis berjudul Het Beeld
van Indonesia in the 20-steewse Koloniale Literatuur -Wajah Indonesia dalam
Literatur Kolonial Abad 20. Ishak juga tergolong orang yang sering mengikuti
berbagai jenis training di dalam maupun luar negeri dalam bidang jurnalistik
maupun manajemen seperti Nijenrode Management Institute, Breukelen Netherland. Dengan
latar belakang pengetahuan yang sangat luas itulah Ishak kemudian menelorkan
buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia.
Buku ini merupa kan sebuah karya dan prestasi yang menonjol karena jarang
jurnalis Indonesia menulis buku, terutama tentang topik yang cukup serius. Sebagai
seorang jurnalis, style penulisan Ishak sangat mudah dimengerti, enak dibaca
walaupun memerlukan waktu yang cukup panjang untuk dapat memahami garis merah
dari buku ini. Hal itulah yang sebenarnya menjadi daya tarik tersendiri dari
buku ini, karena penulis tidak menjejalkan kesimpulannya sendiri kepada pembaca..
Dia lebih memaparkan duduk perkaranya daripada menggurui. Gaya bahasanya tidak
berbentuk telling, tapi showing. Dia menantang pikiran, sekaligus menggugah
nurani.
Ada kegelisahan yang sangat mendalam dalam buku ini tentang peranan dan
ketangguhan negara serta korporasi dalam menghadapi gejolak kritis baik pada
tahap awal maupun pasca krisis. Ishak, misalnya, mencoba memetakan dan
melakukan analisa mengapa Indonesia gagal tinggal landas setelah 32 tahun di
bawah pemerintahan Orde Baru. Berbagai kelemahan struktural dan penyimpangan
prioritas masa kelemahan struktural dan penyimpangan prioritas masa Orde Baru
dianalisa dengan tajam dan menarik secara jurnalistik. Di tengah pertumbuhan
ekonomi yang lumayan, Ishak memaparkan berbagai ketimpangan yang terjadi dan
kerawanan di dalam bidang ekonomi maupun sosial. Namun pada akhirnya, Soeharto
tidak mampu menahan besarnya tekanan terhadap perubahan dan keinginan untuk
demokratisasi.
Ishak juga melakukan pembedahan yang kritis terhadap masa pemerintahan
Habibie. Dalam banyak hal, Habibie berupaya memenuhi tuntutan reformasi, dengan
menyusun undang-undang kebebasan pers, undang-undang desentralisasi dan undang-undang
pemilu. Habibie berhasil menegakkan landasan untuk demokratisasi sebagai respon
terhadap tuntutan mahasiswa dan rakyat sebelum dan saat reformasi itu terjadi. Di
sisi lain Habibie melaksanakan banyak permintaan IMF dalam bentuk berbagai
Letter of Intent terutama dalam kaitannya dengan rekapitalisasi perbankan, BLBI
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan MSAA (Master of Settlement Acquisition
Agreement). Ishak juga menjelaskan berbagai perdebatan internal dan diskursus
publik tentang arah kebijakan ekonomi dalam masa pemerintahan Habibie.
Secara panjang lebar Ishak melakukan analisa tentang dinamika politik sejak
pemilu tahun 1999-2004. Secara gamblang pula ia menarik kesimpulan yang sangat
tepat yaitu kematian ideologi dalam proses politik di Indonesia. Sehabis
kejatuhan pemerintahan otoriter Soeharto, ternyata ruang kosong demokratisasi
dengan cepat diisi dan diambil alih oleh aligarki politik dan ekonomi yang
tumbuh pada masa Orde Baru. Dengan kata lain demokratisasi Indonesia telah
”dibajak” oleh tokoh-tokoh dan kekuatan lama Orba yang telah berhasil melakukan
akumulasi finansial maupun jaringan selam 32 tahun kekuasaannya.
Tidak aneh bahwa transisi dari sistem otoriter ke sistem demokratis tidak
membawa manfaat yang besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Seperti
diketahui, proses pemilu politik uang. Jika kecendrungan ini terus berlanjut, maka
akan timbul banyak pertanyaan tentang apakah demokrasi ada manfaatnya untuk
rakyat kebanyakan. Seperti yang dikatakan Ishak, matinya ideologi dalam proses
politik Indonesia merupakan salah satu penyebab utama dari komersialisasi dan
dominasi politik uang dalam proses demokrasi di Indonesia (hal.133).
Sangat sukar misalnya, untuk membedakan ideologi, visi dan strategi
berbagai partai politik yang ada di Indonesia karena dominannya komersialisasi
dan pragmatisme partai politik. Rakyat biasa diberikan pilihan partai-partai
dengan nama dan simbol yang berbeda-beda, tetapi sebetulnya esensi maupun
programnya tidak jauh berbeda. Dalam konteks seperti itu, demokratisasi yang
diharapkan mampu mengurangi kecenderungan massa mengambang, justru menimbulkan
gejala sebaliknya, yaitu semakin menguatnya kecendrungan massa mengambang.
Dalam kondisi vakum ideologi, dominasi pragmatisme dan politik uang, Indonesia
sangat mudah dipengaruhi oleh pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang
semakin mengecilkan peranan negara dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Negara
hanya mewakili dan memperjuangkan kepentingan elit, sementara rakyat dilepaskan
pada belas kasihan mekanisme pasar. Misalnya, berbagai subsidi di dalam bidang
pendidikan dan kesehatan dihapuskan tanpa melihat perbedaan kemampuan ekonomi
masyarakat. Di negara-negara yang kapitalistik sekalipun, seperti di Eropa, tetap
ada subsidi maupun bantuan keuangan di bidang pendidikan dan kesehatan untuk
masyarakat yang tidak mampu.
Ishak dengan sangat detil menjelaskan berbagai tarik menarik dalam strategi
dan kebijakan ekonomi sejak pemerintahan Habibie, Gus Dur, Mega, dan SBY. Tampak
jelas walaupun ada upaya-upaya untuk menghindari peranan yang sangat besar dari
lembaga-lembaga internasional, tetapi karena kevakuman ideologi, dominasi
pragmatisme serta kelemahan visi, pada akhirnya peranan lembaga-lembaga
internasional IMF dan Bank Dunia sangat dominan dalam menentukan arah dan
kebijakan ekonomi Indonesia. Dalam buku ini, Ishak memberikan penjelasan
tentang penyusunan ”GBHN super dari bawah meja IMF”.
Kondisi Indonesia sangat berbeda dengan pengalaman negara-negara Asia Timur
yang berhasil mengejar ketertinggalannya dari negara-negara Barat. Mereka lebih
akomodatif terhadap kepentingan negara-negara besar dalam bidang politik luar
negeri dan pertahanan, tetapi sangat mandiri dalam penentuan strategi dan arah
kebijakan ekonomi.
Dalam bab akhir buku ini, Ishak menawarkan jalan baru membangun Indonesia, sebagai
kesimpulan dan kesadarannya bahwa jalan lama Indonesia yang telah dilalui sejak
40 tahun yang lalu sampai saat ini, ternyata tidak membawa perubahan yang
berarti bagi mayoritas bangsa kita. Pola hubungan ekonomi kolonial yang
ditentang habis-habisan oleh para pendiri republik ini, ternyata menampakkan
wujud barunya dalam bentuk neokolonialisme ekonomi yang difasilitasi oleh
”Mafia Berkeley ” selama nyaris 40 tahun. Ishak, berdasarkan catatan
jurnalistiknya yang sangat panjang selama 1997-2007, semakin meyakini bahwa
tanpa jalan baru, Indonesia akan semakin ketinggalan dari negara-negara Asia
Timur lainnya.(*)
*) Tulisan ini dimuat di Surabaya Post, 20 Juli 2008
Komentar