Mencipta Harmonisasi Lintas Agama
Judul Buku : Agama-Agama Baru di Indonesia
Penulis : M. Mukhsin Jamil, M.A.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2008
Tebal : xxii + 214 halaman
Kehadiran era modern yang diprediksi bakal terjadi kemunduran agama dari
panggung kehidupan manusia, ternyata tidak terbukti. Agama terus menjadi
sesuatu yang menarik minat umat manusia. Agama-agama konvensional untuk
sebagian mengalami revitalisasi dalam bentuk kebangkitan kembali, setelah
sekularisme menyudutkannya di pinggiran sejarah peradaban manusia modern. “Agama-agama
baru” dengan berbagai gejalanya seperti perhimpunan spiritualitas, new age, kultus,
sinkretisme, dan sebagainya muncul tidak hanya di negara-negara berkembang
seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara maju seperti Amerika serikat.
Di tengah fenomina sosial keagamaan semacam itu, maka muncul kembali
semangat untuk meninjau kembali tesis sekularisme tentang kemunduran agama. Pada
saat yang sama juga muncul ketertarikan kembali untuk melihat agama dalam
kehidupan kontemporer dengan berbagai kompleksitas problem yang menyertainya. Salah satu di antara
problem itu adalah bagaimana fenomina baru kehidupan agama itu dijelaskan. Dan
bagaimana klaim religius yang diyakini sebagai jalan keselamatan dan kedamain
oleh para pemeluknya itu bisa diletakkan dalam kerangka membangun tata
peradaban yang humanis, tanpa konflik dan pertumpahan darah.
Buku yang diberi judul Agama-Agama Baru di Indonesia ini merupakan usaha
untuk memahami gejala-gejala baru keberagamaan di Indonesia dengan menggunakan
pendekatan yang lebih bersifat sosilogis baik dalam konteks global maupun
nasional yang telah mendorong kemunculan gejala-gejala kontemporer kehidupan
keagamaan.
Penulis, Mukhsin Jamil memberi inspirasi bagi munculnya kearifan dalam
menyikapi perbedaan keyakinan. Juga dalam mencari akar-akar sosiologis bagi
gejala-gejala keagamaan baru yang mendorong ke arah pemahaman yang lebih
memadai tentang problem sosial, kultural dan spiritual yang dihadapi umat
beragama, di tengah himpitan globalisasi dan modernisasi sangat keras. Dari
situ bisa ditemukan celah untuk berempati, membangun komunikasi dan dialog
secara lebih bijak antar komunitas beragama yang berbeda-beda. Sehingga
terwujud agama yang mendambakan cinta kasih, cinta perdamaian, dan membela kaum
lemah.
Meski sebenarnya membangun saling pengertian antar komunitas beragama
bukanlah perkara mudah. Apalagi adanya perbedaan-perbedaan antaragama justru
banyak memunculkan saling curiga, gesekan bahkan konflik serta kekerasan. Salah
satu di antara penyebab gesekan dan konflik antarkomunitas beragama, biasanya
adalah klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri. Klaim tersebut yang tidak
disertai dengan kesediaan untuk menghargai dan menerima kehadiran komunitas
lain yang berbeda.
Munculnya kelompok-kelompok keagamaan baru, sangat mungkin merupakan akibat
panjang dari mulai berkurangnya dimensi profetis agama untuk mengangkat harkat
dan martabat manusia, membebaskan manusia dari ketertindasan secara sosial, ekonomi,
politis, dan kultural. Masyarakat sedang mengalami himpitan di sana-sini, sementara
solusi alternatif dari institusi agama yang ada kurang memuaskan.
Dari sinilah, menjadi penting untuk memahami lebih jauh tentang akar-akar
sosial, ekonomi, dan kultural atas keberadaan kelompok-kelompok agama baru yang
sangat marak dewasa ini. Upaya ini akan menjadi prasyarat untuk melakukan
langkah-langkah yang lebih mendasar dalam memahami fenomina kelompok-kelompok
agama baru. Upaya ini sangat diperlukan baik dalam kerangka membangun dialog
antarkomunitas beragama, maupun mencarikan jalan keluar dengan pemberdayaan dan
transformasi kehidupan keagamaan di tanah air menuju kehidupan agama yang lebih
mencerahkan.
Untuk itu, kesediaan untuk saling belajar dari kalangan berbagai agama
menjadi keharusan untuk terus dipupuk, sehingga gejala saling curiga akan
semakin menyusut. Sebab kebangkitan kesadaran beragama bisa saja menimbulkan
ketegangan dalam hubungan antar kelompok berbagai agama, lebih-lebih dalam
suatu masyarakat di mana berbagai agama hidup dan berkembang dalam keadaan
berdampingan dan sekaligus bersaingan. Masing-masing penganut agama merasa
mengemban misi luhur untuk menyampaikan kebenaran kepada orang lain.
Keberagamaan pada hakikatnya adalah penerimaan nilai-nilai bahkan institusi-institusi
yang diyakini sebagai kebenaran mutlak. Akan tetapi, dalam kenyataannya manusia
tidak lahir dalam ruang hampa budaya dan hampa agama. Karena itu, keberagamaan
untuk sebagian besar penganut agama apapun tidak bermula dari pilihan bebas. Ia lahir dari
proses pewarisan ultimate value dari generasi ke generasi.
Tidak mengherankan apabila masalah agama dan keberagama merupakan masalah
peka. Bagi masyarakat kita yang majemuk, penumbuhan kesediaan untuk saling
memahami dan saling menghormati anutan dan keyakinan masing-masing pihak
menjadi sangat penting. Ia merupakan tuntutan objektif kalau kita menginginkan
agar kerukunan hidup di antara umat berbagai beragama tidak tinggal sebagai gagasan
yang mandul steril. Kemajemukan, keterbukaan, dan mobilitas masyarakat kita
tidak memungkinkan lagi tegak kokohnya tembok-tembok ekslusifisme di antara
umat berbagai agama.
Tentu saja gagasan dan usaha untuk menghilangkan sama sekali perbedaan-perbedaan
yang dipunyai oleh agama-agama tidak realistik. Perbedaan itu nyata ada, sebab
kalau tidak, kita tidak akan mempunyai ungkapan jamak; agama-agama. Sebaliknya,
kita tidak bisa mengingkari adanya persamaan, sebab kalau tidak, kita tidak
menyebutnya dengan ungkapan yang satu; agama.
Kemampuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kerukunan hidup di antara
umat berbagai agama merupakan salah satu tolok ukur kedewasaan dalam beragama. Untuk
mencapai kondisi yang seperti ini, diperlukan berbagai usaha yang menunjang, salah
satu yang terpenting adalah bidang kepustakaan. Sangat diperlukan kehadiran
buku-buku seperti yang ditulis Mukhsin ini, yang bersifat apresiatif dan penuh
respek pada anutan dan keyakinan orang lain.
*) Tulisan ini dimuat di Jurnalnet.com, 14 April 2008
Komentar