Membumikan Islam Progresif
Judul Buku : Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an
Penulis : Dr. Phil. H. M. Nur
Kholis Setiawan
Penerbit : eLSAQ Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2008
Tebal : xv + 189 halaman
Islam progresif adalah Islam
yang menawarkan sebuah kontekstualisasi penafsiran Islam yang terbuka, ramah, segar,
serta responsif terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda
dengan Islam militan dan ekstrimis yang tetap berusaha menghadirkan wacana
penafsiran masa lalu serta menutup diri terhadap ide-ide baru yang berasal dari
luar kelompoknya. Bahkan, seringkali untuk meneguhkan keyakinannya, mereka
bertindak dengan mengklaim diri sebagai pemilik otoritas kebenaran untuk
bertindak secara otoriter terhadap paham dan agama lain.
Buku Akar-akar Pemikiran
Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, mencoba menawarkan sebuah metode ber-Islam
yang menekankan pada terciptanya keadilan sosial, kesetaraan gender, dan
pluralisme keagamaan. Maka, seorang Muslim yang progresif haruslah bersedia
untuk berjuang demi menegakkan keadilan sosial di muka bumi ini. Perjuangan itu
bisa berwujud pada advokasi hak-hak orang yang termarjinalisasi, orang yang
tertindas, orang yang terkena polusi lingkungan, serta orang yang ”yatim”
secara sosial dan politik.
Kemunculan Islam Progresif
merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam liberal, namun demikian,
islam progresif juga merupakan kontra gerakan terhadap Islam liberal yang
dianggapnya lebih menekankan pada kritik-kritik internal terhadap pandangan dan
perilaku umat Islam yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis(hal.38).
Sementara
itu, kritik terhadap modernisme, kolonialisme, dan imperialisme justru tidak
mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal.
Label progresif diberikan kepada orang atau kelompok yang menghidupkan
dinamisme evolusi sosial masyarakat dan tidak berpegang kepada ide lama secara
taklid buta. Namun demikian, Islam progresif mempersyaratkan kecendrungan
kepada kemajuan. Progresif bukanlah bermakna suatu kategori atau label yang
esensinya atau ontologis. Ia juga bukan suatu label untuk sekumpulan atau satu
suku Muslim tertentu.
Islam progresif meyakini bahwa semua pembelaan itu mempunyai dasar dan
tradisi yang kuat dalam al-Qur’an dan hadits. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
meneguhkan tentang pentingnya kepedulian sosial seperti yang tertera dalam
surat al-Maun. Begitu juga, sejarah kehidupan dan dakwah Nabi pun juga tampak
jelas membela terhadap hak-hak golongan mustadh’afin, fakir miskin, dan anak
yatim. Dari hal di atas nampak bahwa yang menjadi ciri khas Islam Progresif
adalah pada aspek pembebasannya terhadap hak-hak kemanusiaan. Di samping itu, pemikiran
progresif mempunyai gagasan maju, bukan hanya sikap terbuka saja. Maksudnya, ide-ide
itu benar-benar berarti. Dalam hal ini, cendekiawan mempunyai peranan penting.
Penulis, H. M. Nur Kholis Setiawan menilai ada beberapa ciri-ciri dari
kelompok Islam progresif, yaitu: mereka yang cukup kritis terhadap fenomena
ketidakadilan, baik dalam perspektif lokal maupun nasional dan global. Mereka
memiliki concern untuk menegakkan keadilan di wilayah di mana mereka hidup dan
bertempat tinggal. Sebagai dasar dari kritisisme dan concern di atas, mereka
juga kritis terhadap modernisme pada umumnya. Mereka cendrung mengapresiasi dan
bahkan menggunakan postmodernisme sebagai alat analisis dan kesadaran dalam
melihat fenomena perubahan. Ciri lainnya adalah memiliki pepedulian sebagai
titik tolak dan sekaligus kritis terhadap tradisi Islam yang panjang.
Mereka teguh memegangi keyakinan Islam dan apresiasi terhadap seluruh
warisan dan tradisi Islam, tetapi dalam waktu yang sama mereka juga kritis
terhadapnya ketika mereka dihadapkan dengan fenomena perubahan. Dan ciri
penting berikutnya adalah mereka tidak hanya bertengger di menara gading
sebagai intelektual tetapi juga ikut terjun langsung dalam proses penyadaran
dan menggerakkan masyarakat.
Dengan demikian maka bisa ditarik kesimpulan bahwa perbedaan antara Islam
progresif dan Islam liberal adalah terletak pada prinsip keterlibatannya. Islam
liberal hanya bergerak pada tataran discourse, sementara Islam Progresif tidak
hanya bergerak discourse, tapi juga melakukan aksi untuk membumikan gagasan-gagasannya.
Seperti dikatakan oleh Leonardo Boof bahwa yang dibutuhkan bukan hanya
liberalisasi pemikiran, namun juga pembebasan sosial. Ia mengatakan liberaco (liberasion) links the
concepts liber (free) and acao (action). There is no liberation without action,
sementara Nur Kholis menyatakan bahwa Vision is doomed from the start.Vision
without activism quality become irrelevant.
Sasaran aksi perubahan dalam
wilayah keagamaan, misalnya, seperti yang dilakukan oleh gerakan teologi
pembebasan adalah dengan mereformasi institusi keagamaan melalui tafsir baru
terhadap paham keagamaan. Gerakan semacam ini seperti yang dilakukan di Amerika
Latin, khususnya Brazil dan gerakan Mullah dalam merevolusi Iran pada tahun 1979.
Di Indonesia, gerakan muslim progresif dilakukan oleh misalnya The Wahid Institute
P3M, Yayasan Puan Amal Hayati, dan lain-lain.
Penafsiran ulang secara historis dan antropologis terhadap paham (teks-teks)
keagamaaan terutama yang berkaitan dengan muamalah penting dilakukan untuk
tetap mempertahankan fleksibilitas wahyu dengan kekinian. Teks (kitab suci) boleh
berhenti (statis) pada suatu kurun waktu tertentu, tapi penafsiran ulang
terhadap teks statis tersebut harus selalu diupayakan. Penafsiran ulang
dilakukan dengan tentunya memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan memahami betul
pesan-pesan moral dari teks keagamaan.
Sungguh buku ini akan mengajak pembaca untuk ziarah ke masa lalu, menggali
dan mengkaji khasanah klasik di bidang penafsiran al-Qur’an dan pemikiran
keislaman secara umum, dengan tujuan agar bisa tercapai sebuah kemajuan umat
Islam di masa kini dan mendatang.
Komentar