Menyingkap Sejarah Romusa di Indonesia
Judul Buku : Romusa; Sejarah yang Terlupakan
Penulis : Hendri F. Isnaeni dan Apid
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xi + 157 halaman
Setiap bangsa di muka bumi ini mempunyai sejarahnya masing-masing. Walaupun tidak semua
bangsa memiliki catatan tertulis. Melupakan sejarah sama dengan seorang yang
menderita ”hilang ingatan”. Mengingat sejarah berarti mengingat siapa kita
kemarin dan hari-hari sebelumnya. Sejak manusia ada di muka bumi ini, sejarah
sekelompok orang, entah itu kelompok keluarga, kelompok agama atau bangsa, adalah
bagian dari identitas kelompok tersebut. Sejarah merupakan petunjuk tentang apa
dan siapa manusia itu sebenarnya.
Menyinggung bangsa Indonesia, kita pasti tidak akan pernah menginginkan
peristiwa yang terjadi di masa lampau yang dialami oleh rakyat Indonesia
terulang kembali di masa sekarang. Sebab walau bagaimanapun sejarah masa lalu
kita sangat pedih dan terhina.
Bangsa indonesia merupakan satu dari sekian bangsa yang pernah merasakan
pahitnya penderitaan dalam sejarah masa lalunya sebagai bangsa yang dijajah
bangsa lain. Cukup lama bangsa Indonesia dijajah, oleh kolonialis Belanda
selama tiga abad lebih, kemudian dilanjutkan bangsa Jepang selama 3,5 tahun
yang dirasakan lebih kejam dari Belanda.
Bangsa Jepang yang menggantikan kolonialisme Belanda pada tahun 1942 hingga
tahun 1945, meninggalkan bekas luka yang menyakitkan pada hati rakyat Indonesia.
Mereka bahkan semakin menambah penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat
Indonesia setelah sekian lama di perlakukan semena-mena oleh kolonialis
sebelumnya.
Sebelum menggantikan kolonialis Belanda di Indonesia, Jepang terlebih
dahulu menaklukkan pasukan sekutu (Belanda, Inggris, Australia) khususnya
tentara KNIL (Koninklijk Netherlands Indische Leger) yang berkuasa di Indonesia
waktu itu. Pemerintah yang berkuasa di Indonesia (Hindia Belanda) menyerahkan
kekuasaannya tanpa syarat ke tangan Jepang pada tanggal 8 Mater 1942. Peristiwa
tersebut terjadi di rumah sejarah yang terletak di sekitar kawasan pangkalan
Angkatan Udara (AU) Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dengan penyerahan itu, berakhirlah
masa penjajahan Belanda di Indonesia yang sama sekali tidak dipersiapkan untuk
menentukan nasibnya sendiri, oleh Belanda dilempar begitu saja kepada kekejaman
penguasa Jepang. Dengan demikian secara moril pihak Belanda telah kehilangan
haknya di Indonesia.
Pendudukan kemaharajaan Jepang di Indonesia berlangsung tidak begitu lama. Namun,
dampaknya sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan rakyat Indonesia baik dari
aspek politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, birokrasi dan mobilitas
sosial serta militer. Dampak tersebut begitu terasa dan menyanyat hati seluruh
rakyat dan semuanya itu tidak akan pernah terlupakan dalam catatan sejarah
masyarakat Indonesia.
Kehadiran buku ini, Romusa; Sejarah yang Terlupakan mengurai secara khusus
dan terperinci tentang pendudukan Jepang di daerah wilayah Banten, tepatnya di
Bayah Banten Selatan. Di wilayah ini Jepang dengan kekuasaannya mengeksplotasi
sumber daya alam dan sumber daya manusia secara besar-besaran. Pengerahan
tenaga kerja secara besar-besaran untuk bekerja paksa (romusa), dalam rangka
membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan Jepang berlangsung dari tahun 1942
sampai 1945.
Keberadaan romusa sangatlah pemprihatinkan, karena jaminan makanan, pakaian,
kesehatan bahkan jaminan untuk hidup sekalipun tidak ada. Maka tidak
mengherankan jika banyak tenaga romusa yang meninggal akibat kekurangan makan
dan diserang oleh berbagai wabah penyakit.
Tapi, sampai sekarang sejarah romusa yang terjadi dipertambangan batu bara
Bayah Banten Selatan seolah dilupakan atau mungkin sengaja dilupakan, mungkinkah
ini disebabkan karena dianggap sebagai sejarah hina dan tidak pantas dijadikan
sebagai catatan sejarah bangsa. Atau mungkin saja ada unsur politik dari oknum
tertentu sehingga romusa ini keberadaannya ditutup-tutupi. Kalau hal itu benar
maka kita telah melakukan suatu kesalahan dengan cara melupakan sebuah sejarah.
Padahal, seperti yang telah dikemukakan di atas, melupakan sejarah berarti sama
dengan menderita ”hilang ingatan”. Kenapa sejarah romusa terkesan dilupakan?
Sejarah romusa telah lama berlalu. Cerita dari mulut ke mulut mulai memudar,
seiring gugurnya satu persatu romusa yang ketika hidupnya bersemangat menceritakan
perngalamannya kepada siapapun yang ingin pengetahuannya. Bukan belas kasihan
dan sumbangan yang diharapkannya. Tetapi, ceritanya di masa lalu selalu ada
benang merah dengan masa kini yang dapat menunjukkan jalan terbaik di masa yang
akan datang.
Kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu
mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi penerus negeri ini. Sejarah
romusa di pertambangan Bayah, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten Selatan,
kini terancam hilang dari kenangan. Satu-satunya apresiasi terhadap kegetiran
para romusa itu hanyalah berupa tonggak menumen bersisi empat dengan tinggi
sekitar tiga meter. Bangunan yang dibangun tahun 1946 untuk mengenang ribuan
romusa yang tewas pada masa pendudukan Jepang itu mulai rapuh tak terurus. Peninggalan-peninggalan
romusa nyaris tak bersisa seperti lokasi stasiun, tempat parkir berbagai
lokomotif kereta api yang terelakkan di kawasan pantai Pulau Manuk. Bekas
stasiun itu hanya menyisakan pal-lal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar.
Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusa malah tidak ada lagi tanda-tandanya
(hal.59).
Andaikata semua itu masih terawat, niscaya bisa saja dijadikan obyek wisata
sejarah, melengkapi wisata pantai yang membentang di pesisir Banten Selatan. Sehingga
keindahan panorama pantai ditambah bangunan-bangunan sejarah akan memancing
para pendatang untuk mengenal lebih dekat dan memahami sejarah perjalanan
negeri ini. Selain terkenal dengan sejarah romusa, Bayah juga tercatat dalam
buku sejarah sebagai tempat persembunyian tokoh Tan Malaka. Di Banten Selatan
itu, ia sempat juga mengorganisir para romusa membentuk perkumpulan.
Saat penjajahan Jepang, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang
digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik. Penambangan
batu bara, antara lain dengan pembuatan lubang-lubang tambang batu bara di
Gunung Madur serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu
bara, diperkirakan memakan korban 93.000 lebih romusa dalam pembangunannya. Sebagian
besar romusa itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purwokerto, Kutoarjo, Solo,
Purwodadi, Semarang, Yogyakarta dan lain-lain (hal.89).
Sejarah romusa di Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang diabaikan. Potensi
itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua
alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana. Yang
memprihatinkan, masyarakat Banten Selatan sendiri, khususnya masyarakat di
pertambangan Bayah. Padahal sejarah ini adalah sejarah lokal yang berskala
nasional bahkan internasional.
Buku ini menciptakan kesadaran bersejarah, karena sejarah romusa ini bisa
memberikan suplemen sejarah lokal pada masyarakat Indonesia. Usaha yang telah
dilakukan oleh Hendri F. Isnaeni dan Apid melengkapi pengetahuan kita tentang
sejarah yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Juga mengajak
masyarakat untuk menciptakan rasa cinta terhadap peninggalan-peninggalan
sejarah sebagai bagian yang utuh dan tak terpisahkan dalam perjalanan sejarah
bangsa.
Komentar