Mengkonsep Pendidikan Tanpa Kekerasan
Dunia pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan
media massa, tapi kali ini bukanlah kabar menyenangkan bagi masyarakat kita.
Kekerasan terhadap anak didik di beberapa tempat oleh para guru di sekolah
kembali terjadi. Perjalanan pendidikan bangsa ini rasanya sulit terlepas dari
nuansa kekerasan yang melibatkan para pendidik. Seperti kebiasaan masyarakat
kita, setelah beredar kabar kekerasan terhadap anak didik serentak baik para
guru bersangkutan, masyarakat, pemerintahan mengecam perbuatan anarki yang menimpa
anak didik mereka. Maka dibuatlah peringatan-peringan terhadap semua guru di
lembaga pendidikan untuk tidak melakukan pratek yang sama.
Meski tragedi tragis ini bukanlah yang pertama
terjadi di negeri kita, tapi mengapa perbuatan yang jelas-jelas tidak mendidik
dan bertentangan dengan tujuan awal pendidikan masih saja terulang. Mungkinkan
pendidikan yang selama ini diterapkan di sekolah belum mampu menanamkan
nilai-nilai yang menjuntung tinggi martabat manusia dengan tanpa melibatkan
tindak kekerasan.
Padahal, melihat
esensi pendidikan Indonesia menurut UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 menyatakan
bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan
bangsa. Begitu juga dalam pasal 1 ayat 1 pendidikan ditujukan sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari situ nampak
jelas berlangsungnya pendidikan membawa misi akan terciptanya anak didik yang
cerdas, dibarengi dengan etika dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban.
Tentunya tujuan ini bisa dicapai apabila pendidik bisa menyampaikan dengan cara
baik, tanpa memaksakan kehendakanya dengan menghalalkan segala cara agar
keinginannya tercapai. Apalagi melalui tindak kekerasan, yang memang bertentangan
dan bukanlah cermin sebagai sosok pendidik yang bisa mengayomi.
Variasi penindasan
Kasus penindasan
di lembaga pendidikan menurut Barbara Coloroso terbagi atas tiga jenis
penindasan; verbal, fisik dan relasional. Masing-masing dapat menimbulkan
bencana sendiri-sendiri. Namun ketiganya kerap membentuk kombinasi untuk
menciptakan sesrangan yang lebih kuat. Anak perempuan dan anak laki-laki
sama-sama menggunakan penindasan verbal. Anak laki-laki cenderung menggunakan
penindasan fisik-lebih kerap daripada anak perempuan. Sementara, anak perempuan
menggunakan penindasan relasional lebih banyak daripada anak laki-laki.
Perbedaan ini lebih berkaitan dengan sosialisasi laki-laki dan perempuan dalam
budaya kita, daripada dengan keberanian fisik ukuran. Anak laki-laki cenderung
untuk bermain kelompok dalam jumlah besar, dengan disatukan oleh minat bersama.
Mereka menetapkan suatu tatanan tentang siapa menguasai siapa yang ditetapkan
dengan jelas dan benar-benar dihargai. Ada suatu perebutan bagi posisi yang
dominan.
Pertama,
penindasan verbal, kekerasan verbal adala bentuk penindasan yang paling umum
digunakan baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Kerena ini mudah
dilakukan dan dapat dibisikkan di hadapan orang dewasa serta teman sebaya,
tanpa terdeteksi. Penindasan verbal dapat diteriakkan di taman berbain dan
bercampur dengan hingar-bingar yang terdengar oleh pengawas taman bermain,
diabaikan kerena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik di
antara rekan sebaya. Cepat dan tidak menyakitkan sang penindas, namun dapat
dangat melukai sang target.
Penindasan verbal
dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan-baik yang
bersifat pribadi maupun-rasial-dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan
seksual atau pelecehan seksual.
Dari ketiga bentuk
penindasan, penindasan verbal adalah salah satu jenis yang paling mudah
dilakukan, kerap merupakan pintu masuk menuju ke kedua bentuk penindasan
lainnya, serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih
kejam dan merendahkan martabat.
Kedua, penindasan
fisik, kendati penindasan ini merupakan jenis yang paling tampak dan paling
dapat diidentifikasi di atanara bentuk-bentuk penindasan lainnya, namun
kejadian penindasan fisik terhitung kurang dari sepertiga insiden penindasan
yang dilaporkan oleh anak-anak. Yang termasuk ini adalah memukuli, mencekik,
menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, serta meludahi
anak yang ditindas; menekuk anggota tubuh anak yang ditindas hingga keposisi
yang menyakitkan; dan merusak, menghancurkan pakaian serta barang-barang milik
anak yang tertindas. Anak yang secara teratur memainkan peran ini kerap
melakukan penindasan yang paling bermasalah di antara para penindas lainnya,
dan yang paling cenderung beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih
serius.
Ketiga, penindasan
relasional, jenis ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan resional
adalah pelemahan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui
pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Penhindaran, suatu
tindakan penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat. Anak yang
digunjingkan mungkin bahkan tidak mendengar gosip itu, namun tetap akan
mengalami efeknya.
Penindasan
relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau
secara sengaja ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat
mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata,
helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang
kasar.
Penindasan
resional mencapai puncak kekuatannya di awal masa remaja, saat terjadi
perubahan-perubahan fisik, mental, emosional, dan seksual. Ini adalah saat
ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan
rekan-rekan sebaya mereka. Seorang anak yang sengaja disingkirkan dari
pertemanan mereka kerap tidak dipandang sebagai sebentuk penindasan karena
tidak dapat diidentifikasi secara langsung seperti mengolok-olok atau tonjokan
di wajah.
Komentar