Wayang, Bima Suci, dan Moralitas
Judul : Moral Islam dalam Lakon Bima Suci
Penulis : Teguh, M.Ag.
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Tebal : x + 200 halaman
Pertunjukan wayang sudah tidak menjadi hal baru bagi masyarakat Indonesia, pergelaran
pentas wayang kerap di pertontonkan pada masyarakat, baik melalui kegiatan
pentas kebudayaan ataupun di layar pertelevisian. Karena sebenarnya nilai-nilai
yang tergambar dan terjalin dalam lakon wayang sangat banyak mengandung ajaran
yang mencerminkan kehidupan masyarakat, seseorang dengan hanya memahami lakon
wayang dapat pula dikatakan telah mempelajari aspek-aspek etika dalam menjalin
hubungan dengan orang lain, juga terhadap Tuhannya.
Adapun bentuk wayang paling popular di Indonesia, khususnya pulau Jawa
adalah wayang kulit. Bahan wayang kulit ini terbuat dari kulit yang diukir
indah, lakon-lakonnya diambil dari empat siklus yang bahannya sebagaian besar
dari India; mitos-mitos masa permulaan kosmos yang mengenai dewa, raksasa, dan
manusia pada permulaan zaman; siklus Arjuna Sasrabahu yang memuat pendahuluan
epos Ramayana; siklus Ramayana, dan siklus Mahabarata. Di kalangan mayarakat
Jawa siklus Mahabaratalah yang paling popular dalam perkembanganya.
Wayang kulit seperti juga namanya sebagai wayang yang bisa berarti bayangan
atapun “simbol”, bisa saja sebagai sekadar ‘tontonan’ buat masyarakat awam, tetapi
bisa juga sebagai sebuah tuntunan bagi masyarakat luas, karena memang dalam
wayang kulit sarat dengan “simbol-simbol’ yang secara luas bisa diterjemahkan
menurut selera penggemar wayang kulit. Peresapan dan penangkapan arti “simbol-simbol”
dalam cerita wayang kulit begitu luas jangkauannya sehingga bisa dijadikan
suatu sumber yang tak terbatas dalam interpretasinya, sebagai suatu refleksi
kehidupan seseorang sebagai individu, bermasyarakat, bernegara, bahkan juga
hubungan dengan Tuhannya tanpa batasan agama.
Dengan simbol-simbol yang terdapat pada wayang kulit, kemudian banyak orang
menjadikan media untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada masyarakat. Selain
itu, wayang kulit menjadi salah satu bentuk karya seni yang dapat dipakai
sebagai sumber pencarian nilai moral karena di dalamnya diyakini terdapat
ajaran moral yang dapat dipakai sebagai tuntunan hidup manusia, apalagi dalam
lakon perwayangan juga seringkali dimasuki tuntunan yang bersumber dari Alquran
dan Hadist.
Kehadiran buku; Moral Islam dalam Lakon Bima Suci yang ditulis oleh Teguh, M.Ag.,
sebagai buah hasil penelitian untuk penulisan tesis yang mengkaji dunia
perwayangan, Teguh secara garis besar membagi lakon-lakon perwayangan yang
bagitu banyak dipergelarkan dewasa ini menjadi empat bagian, Pertama, Lakon
wayang yang disebut pakem; Kedua, Lakon wayang yang disebut carangan; Ketiga, Lakon
wayang yang di sebut gubahan; dan Keempat, Lakon wayang yang disebut karangan
yang lakonnya sama sekali lepas dari cerita wayang yang terdapat dalam buku-buku
sumber cerita wayang.
Nilai Moralitas
Dalam buku ini, Teguh lebih menfokuskan penelitiannya untuk mengangkat
kearifan yang terkandung dalam cerita wayang lakon Bima Suci yang sarat dengan
amanat nilai-nilai universal dan ajaran moral, antara lain: Pertama, amanat
atau ajaran tentang kewajiban untuk menuntut ilmu, ini bisa dilihat dalam lakon
Bima Suci yang tersirat dalam perjalanan Arjuna beserta para panakawan dari
negeri Ngamarta ke Padepokan Argakelasa, tempat Sang Bima Suci mengajarkan ilmu
kawruh panunggal. Sebuah perjalanan sulit karena harus menghadapi banyak godaan,
rintangan, serta bahaya yang sempat mengancam jiwanya.
Kedua, amanat yang mengajak manusia untuk berpasrah diri secara total
kepada Tuhan, ini terdapat pada ungkapan-ungkapan Arjuna (sebagai murid) kepada
Bima Suci (sebagai guru batin) yang mengajarkan kawruh panunggal. Apa pun yang
diperintahkan oleh Bima Suci, ia jalankan dengan tulus dan kepasrahan diri
secara total. Diantara perintah yang harus dilaksanakan oleh Arjuna adalah
beriman, beramal salih serta meninggalkan segala larangan-Nya.
Sama dengan yang diajarkan dalam Islam, bahwa antara keimanan dengan amal
salih adalah merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh
karena pentingnya perintah ini sehingga hanya orang-orang yang mau beriman dan
baramal salihlah yang akan mendapatkan pahala tiada terputus dan hanya mereka
pulalah yang tidak akan pernah merugi dalam hidup.
Ketiga, amanat tentang ajaran tauhid dan hakikat Tuhan, terdapat dalam
lakon Bima Suci pada aspek antologis, mengajarkan bahwa yang sungguh-sungguh
nyata atau hakikat realitas itu berada dalam kesatuannya dengan yang Mutlak. Adapun
amanat tentang Tuhan yang menguasai segalanya tidak dapat dilihat dengan mata
secara tersurat, akan tetapi terdapat dalam Serat Dewaruci.(hal: 147)
Akhirnya, dengan lahirnya para peneliti di Indonesia yang mendalami
lebih jauh tentang makna simbolik dari cerita wayang. Sebut saja; Franz Magnis
Suseno, Sri Mulyono, Sujatmiko, dan banyak lagi yang lainnya, telah membuktikan
bahwa wayang bukan sekadar sebagai sarana hiburan, tetapi sebagai media
komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Dengan demikian diharapkan
dengan hadirnya buku setebal 200 halaman ini, selain juga untuk menambah
khazanah keilmuan bagi masyarakat secara umum, bagaimana nantinya juga bisa
menggugah generasi baru sebagai penerus yang bisa bermunculan di bumi nusantara
ini, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan lokal.
Komentar