Perjalanan Para Sufi Mencari Tuhan
Judul Buku : Para Pencari Tuhan; Menyibak Kearifan Kisah Para Sufi
Penulis : Idries Shah
Penerbit : Alas, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2007
Tebal : 352 Halaman
Sejarah perkembangan tarekat Sufi secara umum dibagi dalam dua bagian: Pertama,
di mulai pada abad-abad awal setelah kematian Nabi Muhammad, adalah individu-individu
yang merasa terpanggil pada kehidupan mistik atau kepribadian. Kedua, perburuan
secara bersama-sama dengan ‘jalan’ tariqah, dari berbagai kelompok Muslim yang
bergabung dalam persaudaraan-persaudaraan Sufi dengan mengikuti salah satu Wali
besar Islam Abad pertengahan.
Di Asia Tenggara, pada abad XIII tarekat-tarekat Sufi mulai muncul. Di
antara tarekat Sufi yang terkenal adalah Tarekat Qadiriyyah yang dihubungkan
dengan ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 1166), tarekat Rifa’iyyah yang berasal dari
Ahmad Ibn ar-Rifa’i (w. 1182) dan Tarekat Naqsyabanddiyah yang diasosiasikan
dengan Muhammad Baha’ ad-Din an-Naqsyabandi (w. 1389), dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Sedangkan sejarah lahirnya tarekat sufi di Indonesia berpegang erat
kaitannya dengan sejarah penyebaran Islam di Indonesia, para Sufi memainkan
peranan penting terhadap Islamisasi Nusantara, seperti diungkap oleh Tanja
bahwa “Islam yang pertama kali menyebar di Nusantara adalah Islam Sufi”. Sama
halnya dengan Johns, seorang penulis produktif tentang sejaran Sufisme di
Indonesia, berkeyakinan bahwa pedagang-pedagang Arab dan Muslim dari negara-negara
lain telah mengunjungi Indonesia sejak abad VIII, meskipun belum ada masyarakat
Muslim yang tampak dalam skala apa pun hinga abad XIII.
Penyebaran agama Islam pada masyarakat Indonesia, yang menjadi target
utama adalah rakyat di kerajaan-kerajaan Indonesia lokal, dimotori oleh para
Sufi dengan watak khusus Sufisme yang memudahkan ketertarikan komunitas-komunitas
non-Muslim mengikuti ajaran Islam.
Di jawa, diyakini bahwa Islam pertama kali dibawa oleh Wali Sanga (sembilan
wali) yang memainkan peran penting dalam proses Islamisasi. Wali Sanga sendiri
adalah Sufi-sufi yang mengikuti ajaran al-Ghazali asy-Syafi’i. Pengaruh ajaran-ajaran
al-Ghazali ini lebih besar ketimbang ajaran-ajaran Ibn al-Arabi dan pemikir-pemikir
Islam lainnya, diantara karya al-Ghazali yang mendominasi lapangan Sufisme di
kebanyakan pesantren adalah Ihya’, Bidayah, dan Minhaj.
Karya al-Ghazali, kemudian menjadi sebuah pelajaran sufisme pesantren, bahkan
ajarannya sampai sekarang masih tetap eksis di pesantren-pesantren, karena
ajaran ini dipandang menjadi pelengkap esensi syariah. Sufisme dipandang
sebagai ajaran-ajaran moral atas Alquran dan Hadist, juga dipandang mencakup
ajaran kesalehan dan ajaran kebaktian sempurna kepada Allah. Sufi dipandang
bukan untuk mencapai penyatuan dengan Allah, tetapi untuk meraih kedekatan
dengan Allah sebagai hambaNya.
Kehadiran buku “Para Pencari Tuhan” Menyibak Kearifan Kisah Para Sufi”
secara diskriptif mengisahkan para sufi dari ajaran-ajaran para guru dan mazhab
Sufi, yang direkam selama ribuan tahun yang silam. Kisah-kisahnya dikumpulkan
dari sumber-sumber Persia, Arab, Turki, kumpulan kisah yang berisi ajaran
tridisional dan Sufi kontemporer. Kisah para Sufi yang mengandung hikmah dan
kearifan, yang akan membawa pembaca merenungi kembali sejarah perjalanan para
Sufi dalam menyikapi setiap persoalan dalam mengarungi hidupnya.
Karena dalam lingkungan Sufi, sudah menjadi kebiasaan jika pelajaran
menelaah kisah-kisah yang diberikan sebagai bahan pelajaran bagi mereka, sehingga
dimensi internal mungkin disingkapkan oleh guru pengajar sebagaimana dan ketika
pelajaran tersebut dinilai siap untuk menjalaninya dalam kehidupannya sendiri.
Meskipun sudah banyak buku hikayat Sufi berubah menjadi cerita rakyat, ajaran
etika atau berubah menjadi biografi. Kebanyakan hikayat-hikayat tersebut
mengandung banyak penambahan, dan fungsi hikayat-hikayat sebagai tidak lebih
dari sekedar sebuah bahan hiburan semata. Oleh karena itu, buku yang ditulis
Idries Shah mencoba menghadirkan kembali kisah perjalanan para Sufi terdahulu
dalam proses mendekatkan diri pada Tuhan untuk bisa kita ambil manfaat
didalamnya.
Sebagai manusia beragama, kita dituntut tetap bisa menjaga kedekatan dengan
Tuhan dimanapun berada dan kapanpun saja. Meski ada ribuan jalan menuju Tuhan, namun
masing-masing pencari harus memiliki satu jalan yang hendak ditempuhnya. Meski
sebuah jalan kebenaran telah terbentang, tidak setiap insan mampu menangkap
hikmah dan kearifan yang tersembunyi di dalamnya. Bagi mereka yang sekedar
lewat, hanya kelelahan dan keputusasaan yang akan mereka dapatkan, namun bagi
mereka yang bersedia merenung, walau sejenak, dan menyiapkan hatinya untuk
menerima kebenaran sepahit apapu, akhir yang manis akan mereka dapatkan.
Seperti dikisahkan dalam ungkapan para sufi dalam buku ini, “Tidak ada satu
perbuatan pun yang benar-benar berharga bisa dilakukan secara benar tanpa mengeluarkan
usaha yang minimum. Segala sesuatu memiliki kuantitas usaha sendiri, dan para
sufi menerapkan upaya minimum yang dibutuhkan untuk menggali saluran.” (hal.53).
Dengan buku ini, anda tidak saja disuguhi dengan berbagai cerita yang dapat
menggugah dimensi moralitas anda, tetapi bahkan nilai-nilai hiburan yang dapat
anda temukan di dalamnya. Menceritakan kisah-kisah Sufi klasik, mengangkat
ajaran-ajaran Sufi di berbagai negara, dari berbagai manuskrip yang tidak
diterbitkan. Sebagian dari kisah-kisah ini telah menjadi cerita rakyat (folklor)
di beberapa negara, yang dimaksudkan sebagai kisah yang mengajarkan hikmah-hikmah
tentang hidup.
*) Tulisan ini dimuat di Lampung Pos, 15 Desember 2007
Komentar