ICMI dan Eksistensi Terhadap Bangsa
Perjalanan titik awal berdirinya ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia), tidak akan pernah lepas dari peranan penting
para tokoh terkemuka, seperti; Imanuddin Abdulrahim, Dawan Raharjo, Nurcholis
Madjid, Sri Bintang Pamungkas, dan para cendekiawan lainnya, yang tergabung
dalam 49 cendekiawan muslim menginginkan atas berdirinya ICMI, dengan
mempercayai Dr.Ing.B.J. Habibie sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim dalam
lingkup nasional. Meskipun, sebenarnya keinginan berdirinya ICMI berawal dari
forum sekelompok mahasiswa Universitas Brawijaya di Malang, yang merasa
prihatin terhadap kondisi umat Islam, para cendekiawan muslim cendrung pecah,
hanya memperjuangkan dan membesarkan kelompoknya sendiri.
Melalui agenda pertemuan simposiam sebagai langkah awal,
membentuk kordinator, dengan mengundang para cendekiawan yang bertujuan
mengharap pemberian dukungan atas tercapainya “keinginan” mempertemukan para
dendekiawan. Pada tanggal 27 September 1990, Habibie dalam suatu pertemuan,
memberitahukan bahwa usulan untuk menjadi pimpinan wadah cendekiawan muslim
mendapat restu dari Presiden Sueharto.
Kemudian juga, usulan Habibie untuk menamai
organisasi Islam ini dengan ICMI, mendapat dukungan dari semua cendekiawan
muslim yang hadir pada kesempatan itu. Kemudian pada tanggal 28 September 1990,
terjadi pertemun kembali dalam rangka pembahasan rencana pertemuan pada bulan
Desember. Terdapat kesepakatan untuk mengadakan acara simposium bertema
“Simposium Nasional Cendekiawan Muslim: Membangun Masyarakat Abad XXI”.
Kegiatan koalisi-tingkat tinggi antara pemimpin
pemerintah dan Muslim di luar pemerintah ini, di ikuti para tokoh dari Majelis
Ulama Indonesia, Menteri Agama, yang pada waktu itu dijabat oleh H. munawir
Sjadzali, dan staf di departemennya. Menteri penerangan, Harmoko, juga berandil
dalam perencanaan program pertemuan selanjutnya, Rudini sebagai menteri dalam
Negeri, tak ketinggalan Habibie yang waktu itu masih menjabat sebagai perdana
menteri dan para petingginya. Habibie sebagai orang yang terpilih menjadi ketua
umum, menyatakan kelahiran ICMI akan digiring pada organisasi bebas kepentingan
politik.
Tapi, dengan terbentuknya Organisasi Islam seperti
ICMI yang melibatkan kelompok Muslim pemerintahan dan non-pemerintah, tidak
sepenuhnya mendapat dukungan dari para cendekiawan Muslim Indonesia, mereka
menolak untuk bergabung dengan alasan bahwa ICMI bukan organisasi yang mewakili
Islam, melainkan sekedar rekayasa para pemimpin pada saat itu. Seperti Deliar
Noer, Taufik Abdullah sebagai sejarawan menolah diundang meski telah beberapa
kali diundang, dengan alasan bahwa ICMI terlalu dikuasai birokrasi, namun
Adullah menahan diri tidak mengkritik secara terbuka. Secara pribadi, ia
mengaku bahwa organisasi itu telah bekerja sangat baik, misalnya dengan
mensponsori diskusi terbuka tentang HAM, sama seperti Billah yang lebih suka
tetap berada di luar organisasi karena khawatir menjadi anggota hanya akan
menghalanginya bertindak bebas dalam menyikapi persolan terhadap persolan
bangsa.
Penolakan terhadap organisasi ICMI juga dilakukan
oleh Aburrahman Wahid semasih menjabat sebagai Ketua Nahdlatul Ulama, yang
menuduh organisasi ICMI menumbuhkan “Sectarianisme”, meskipun diundang secara
pribadi oleh Habibie, yang mengunjunginya ketika ia dirawat di rumah sakit pada
Februari 1991, orang yang begitu akrab dipanggil Gus Dur, menolak bergabung
dengan menyatakan bahwa pusat perhatian ICMI “Ekslusivistik” dan elitis bukan
pan-Indonesia. Ridwan Saidi, ketua HMI 1974-1977 dan mantan aktivis PPP,
mengkritik organisasi ICMI dengan alasan senada, menuduh ICMI hanya
mencerminkan visi khusus birokrasi terhadap Islam.
Sebagai seorang tokoh pendukung organisasi ICMI,
Nurcholish Madjid menjawaban atas para pengkritik, bahwa apapun peran yang
dimainkan oleh pesaing di tingkat elit terhadap ICMI, dan apapun nasib akhir
ICMI, organisasi ini telah memiliki pengaruh nyata-bagi kelompok kelas menengah
yang saleh dan tekun menjalankan perintah agama. Apapun dampak politik jangka
panjangnya, ICMI telah menguatkan kepatuhan pada Islam di kalangan kelas
menengah dan pejabat pemerintah.
Bertolak kepada terjadinya pro dan kontra atas
berdirinya organisasi ICMI, sekarang yang terpenting adalah bagaimana kaum
muslim Indonesia, dalam perkembangannya termasuk para cendekiawan, harus lebih
mampu lagi menampilkan diri serta dalam ajaran keagamaanya sebagai pembawa
kebaikan untuk semua lapisan masyarakat, dan harus bisa menunjukkan rasa
kebersamaan dengan berpegang pada tuntunan ajaran agama Islam. Serta tidak
memandang suatu golongan adalah yang paling benar, dan menganggap golongan lain
salah. Indonesia sebagai bangsa majmuk, Islam diharapkan bisa terus tampil
menjawab segala macam persoalan, mengisi segala kekurangan, menjadikan sumber
pengembangan dan kunci pembuka masalah dengan nilai-nilai keislaman kepada masyarakat.
Seperti yang terlihat dewasa ini, ICMI dalam merespon
persoalan mendasar yang dihadapi umat Islam Indonesia, mulai mencoba membuat
program pengentasan buta aksara di pedesaan dan pengentasan kemiskinan seperti
yang terjadi di Kabupaten Tanggamus, Menurut Dr. Marwah Dauh Ibrahim sebagai
ketua Presidium ICMI pusat, terpilihnya Tanggamus sebagai daerah model di
Indonesia untuk program ICMI ini didasari atas sumber daya manusianya, sebab
untuk menjadi model bukanya hanya komoditasnya saja tapi yang terpenting adalah
sumberdaya manusianya.
Dengan program itu, ICMI berupaya untuk mengembangkan
agroestat (agro cendekia). Hal ini mengingat sebagian besar masyarakat pedesaan
hidup dalam bertani. Dengan agroestat ini, maka diharapkan lahan pertanian bisa
memiliki nilai ekonomi tinggi, tandasnya. Maka dari program ini, jelaslah
nampak pada kita semua, fungsi nyata program ICMI pada lapisan masyarakat.
Maka dari itu, diharapkan kegiatan-kegiatan ICMI
dalam membantu meningkatkan kemajuan Bangsa, melalui peningkatan kemampuan
Sumber Daya Manusia (SDM) akan terus mengalami peningkatan tanpa ada penghalang
dari suatu kelompok oposisi, dengan selalu menilai setiap dari kegiatan yang
dilakukan sebagai cermin kegiatan kepentingan politik, karena yang terpenting
dalam menghadapi keterpurukan bangsa ini, baik dalam bidang ekonomi,
kemiskinan, dan pengangguran bukan lagi hanya mengeluarkan janji-janji palsu
tanpa ada bukti konkret. Dan kita sebagai masyarakat Indonesia harus bersyukur
dan bangga dengan berdirinya organisasi Islam yang selalu berperan eksis atas
kepeduliannya mewujudkan bangsa kuat, mandiri, menuju masyarakat adil, dan
sejahtera.
Komentar