Global Warming Sebuah Tantangan Bagi Indonesia
Para pemimpin dari sejumlah Negara akan bertemu di
Bali membahas Global Warming (Pemanasan
Global). Pertemuan Konferensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan iklim ini,
akan berlangsung tanggal 3-14 Desember dan diikuti oleh 10.000 peserta dari 168
negara. Sebagai Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki Moon mengajak kepada
negara-negara di seluruh dunia untuk melakuan aksi nyata mengatasi ancaman
tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia, dampak global warming menjadi sangat serius,
mengingat secara geografis letaknya sangat rentan terhadap dampak perubahan
iklim. Negara Indonesia yang memiliki kepulauan lebih dari 17.000 buah pulau,
terjadinya global warming dapat
berakibat pada ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil yang tersebar di tanah
air. Selain itu, pemanasan dan perubahan iklim akan berdampak pula pada pola
tanam petani di seluruh tanah air. Dengan cuaca ekstrim, meningkatnya panas,
dan banjir, akan berdampak pada kemunduran masa tanam dan krisis air untuk
menopang kehidupan (air bersih) dan juga gagalnya panen di berbagai tempat.
Sebagai rasa prihatin, kita tidak dapat berdiam diri
menghadapi isu yang sangat potensial terhadap terjadinya bencana. Dampak
perubahan iklim sangat merugikan segala sendi kehidupan. Pola hujan yang tidak
menentu, menyebabkan besarnya intensitas hujan yang dapat menimbulkan bencana
banjir, mengasinkan air tawar dan longsor. Sebaliknya, musim kemarau yang
berkepanjangan dapat menyebabkan terjadi bencana kekeringan dan kebakaran
hutan. Masyarakat petani, mengalami kesulitan akibat tidak jelasnya waktu tanam
yang tepat, serta terjadinya serangan hama yang tidak terduga.
Meski Negara-negara miskin yang akan merasakan dampak
bencana, perubahan iklim juga melanda Negara maju. Di eropa, kepunahan spesies
akan ekstensif, sementara di Amerikan, gelombang panas makin lama dan menyengat
sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi. Ditambah, kondisi cuaca yang
ektrim akan menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan
semakin besar intensitanya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area
yang lebih luas. Resiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit
meningkat. Diprediksi, sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuhan-tumbuhan
dan hewan berisiko punah jika temperature naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara
1,5 derajat celcius). Jika kenaikan temperature mencapai 3 derajat celcius, 40
hingga 70 persen spesies mungkin akan musnah.
Seperti yang terjadi, dalam satu abad terakhir, sejak
Revolusi Industri pada abad ke-19an, telah terjadi peningkatan suhu permukaan
bumi secara global. Peningkatan suhu permukaan bumi, selain diakibatkan oleh
emisi bahan bakar fosil, kerusakan hutan dan lahan, juga diakibatkan oleh
meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Peristiwa ini kita
kenal dengan global warming atau
pemanasan global, yang menyebabkan perubahan iklim dunia. Peningkatan panas di
bumi, juga menyebabkan es di kutub mencair, sehingga permukaan air laut
meningkat. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70 persen antara 1970 hingg
2004. konsentrase gas karbondiksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari
kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir. Rata-rata temperature global
telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derajat celcius) dalam 100 tahun
terakhir. Muka air laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap
tahun sejak 1961.
Indonesia, yang tercatat sebagai penyumbang terbesar
ketiga karbon dioksida–salah satu jenis gas rumah kaca–akibat kebakaran hutan,
perlu mengambil langkah yang konstruktif. Dalam kondisi sekarang, sudah saatnyalah
memprogramkan restorasi ekosistem nasional, pembangunan, dan pengelolaan hutan
lestari. Posisi Indonesia dalam percaturan isu perubahan iklim global sangat
ditentukan oleh perspektif bahwa kita adalah bagian dari masyarakat dunia yang
juga dapat memberikan andil besar dalam mereduksi pemanasan global. Kepentingan
yang sepatutnya Indonesia perjuangkan adalah wujud dari persoalan sosial,
lingkungan dan ekonomi masyarakatnya yang kemudian diintegrasikan dengan
persoalan perubahan iklim. Mengingat kenyataan yang terjadi, persoalan
lingkungan di negara-negara berkembang tidak dapat lepas dari konteks sosial
dan ekonomi masyarakat seperti tuntutan terhadap konservasi hutan, serta
terjadinya peningkatan aktivitas industri untuk mencapai standar kesejahteraan yang
setara dengan Negara industri, mengakibatkan terjadinya tekanan terhadap negara
berkembang.
Selama ini, Indonesia sering dikecam karena dianggap
lemah dalam mengatasi pembalakan liar. Dengan demikian inilah sebenarnya,
momentum yang sangat berarti bagi negara kita untuk memainkan perannya dalam
konferensi ini. Tampil untuk mengembalikan kepada tujuan semula, sekaligus
peluang Indonesia menunjukan dan menjalankan peran dan fungsi sebagai negara
percontohan diantara
negara-negara berkembang dan negara miskin yang rentan terhadap dampak dan
ancaman perubahan iklim. Karena Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia
tidak bisa bebas dari komitmen untuk juga berperan dalam mengurangi kegiatan
yang menyebabkan pemanasan global.
Mengingat hal tersebut, termasuk diantara solusi
pemecahan yang efektif dalam mengupayakan langkah-langkah sejak dini, adalah
mengurangi sekecil mungkin dampak-dampak ekstrem perubahan iklim. Langkahnya
dengan pemulihan hutan yang sudah mulai rusak, tidak membuang sampah sembarangan,
tentunya ini memerlukan dukungan penuh tidak hanya di level pemerintah
nasional, tapi terutama pula pada setiap pemerintah daerah. Selain
dukungan masyarakat secara umum.
Sekarang, Indonesia sebagai tuan rumah konferensi di
Bali, sangat besar peluang dalam memainkan perannya, kesuksesannya juga akan
mempengaruhi citra di mata Internatioanl. Seperti yang telah lama dipercaya dan
sudah sering dijadikan tempat-tempat pertemuan bertaraf nasional dan
Internasional, dan dalam pelaksanaannya dianggap banyak menemui kesuksesan.
Sama seperti keinginan Gubernur Bali-Drs Dewa Beratha dalam menghadapi
konverensi antar negara, berharap konferensi Pemanasan Global dan perubahan
iklim yang melibatkan banyak negara di belahan dunia di Bali Desember berjalan
lancar dan suskes, mampu mengangkat citra pariwisata Bali dan Indonesia di
dunia internasional. Dr Klaus Wolfer sebagai Duta Besar Austria untuk Indonesia
juga berharap dukungan semua pihak untuk menyukseskan konferensi perangkat
kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim.
Komentar