Pergolakan Petani dan Penguasa
Judul Buku : Petani vs Negara; Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara
Penulis : Dr. Mustain
Penerbit : Ar-Ruzz Media Jogjakarta
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal : 390 halaman
Tanah merupakan sumber potensi yang sangat penting bagi para petani. Karena
tanah bagi mereka adalah tumpuan penghidupan. Dengan pertanian, mereka dapat
menghasilkan bahan makanan, bahan perdagangan dan kebutuhan lainnya, maka bisa
dibayangkan signifikansi tanah bagi masyarakat yang sebagian besar masih
bersifat agraris. Tapi dalam sejarah Indonesia, petani selalu banyak dihantui
ketidakjelasan dan semakin diperparah oleh rasa ketidakmenentuan. Kehidupan
petani dari hari kehari bukannya semakin membaik, melainkan justru semakin
tertekan dan terperosok dalam jurang kemiskinan.
Semuanya itu mengakibatkan kemarahan dan rasa frustasi yang mendalam. Pada
saat yang sama, rakyat petani selain tidak bisa memperjuangkan kepentingan dan
kebutuhannya melalui institusi yang ada, juga tidak cukup mempunyai kemampuan
mengekspresikan emosi secara wajar sehingga persoalan-persoalan yang muncul
kemudian diarahkan menjadi kekerasan massa yang acapkali brutal, destruktif, dan
radikan terhadap sasaran-sasaran yang dianggap menjadi simbol kekuasaan. Seperti
yang terjadi pada petani Simojayan dan Tirtoyudo di ngarai Gunung Semeru, Malang
Selatan sampai sekarang masih tetap belum menemukan titik temu penyelesaian
atas permasalah yang terjadi.
Padahal, memaksimalkan lahan pertanian sangat berpengaruh terhadapm laju
perekonomian secara nasional. Ekonom terkemuka dari banglades, Rahman Sobhan
mengatakan bahwa bila kita benar-benar ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan
di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada
alternatif lain selain melakukan pembaruan agraria yang radikal, yang akan
mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat
yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah, dan yang dengan sendirinya dapat
menghapuskan secara total penghapusan tanah yang dominan.
Buku “Petani vs Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara” yang
ditulis Dr. Mustain mengungkapkan bahwa kebijakan pertanahan di Indonesia yang
banyak memicu terjadinya perlawanan rakyat petani sesungguhnya merupakan
replikasi dari kebijakan negara sejak zaman kolonial. Artinya, ada persoalan
hukum dalam penataan tanah yang hingga era reformasi masih problematik sehingga
sering memicu munculnya konflik pertanahan di masyarakat. (Hal: 78)
Mustain menambahkan bahwa problematika hukum itu terjadi dalam konteks
terjadinya dualisme hukum, yakni hukum negara dan hukum rakyat yang masing-masing
mempunyai dasar klaim kebenaran dengan logikanya sendiri-sendiri. Negara, menempatkan
hukum sebagai determinan struktur yang terekonstruksi dari wujudnya yang
bersifat substantif ke wujud yang lebih menekankan bentuknya yang formal.
Jadi, hukum negara, baik sifat dan latar pembentukannya, umumnya tidak
mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut rakyat lokal. Sebab hukum
negara seperti ini kesahihan wibawaan negara. Kenyataannya bersumbaer dari
kekuasaan dan kewibawaan negara. Kenyataan seperti ini memunculkan terjadinya
cultural gaps yang kondusif menjadi cultural conflik. Hukum negara yang
bercorak demikian sering tidak diterima masyarakat, bahkan justru mendapat
perlawanan dari rakyat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikatnya yang
sedang dihadapi adalah persoalan konflik budaya dalam suatu masyarakat nasional
yang secara sosial dan budaya sangat plural.
Di masa orde baru, fokus kebijakan pertanahan selalu diupayakan untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi secara cepat, dibandingkan orde lama yang
kebijakannya lebih populis, orde baru lebih pada memfasilitasi pemilik modal
dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi kapitalisme. Karena itu sejak 1980-an
kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang
menghambat pelaksanaan kebijakan pembangunan.
Dalam perspektif Scottian dijelaskan, Pertama, bahwa kesenjangan sosial di
pedesaan terjadi sebagai akibat meluasnya peran negara dalam proses
transformasi pedesaan. Besaran ketimpangan sosial di pedesaan ini kemudian
berbagai bentuk perlawana petani miskin terhadap hegemoni kaum kaya dan negara.
Kedua, akibat terjadinya transformasi kultural di pedesaan telah memproduksi
realitas kesadaran sebagai wujud pembelotan kultural. Ketiga, kaum miskin yang
lemah dalam melakukan perlawannnya terhadap hegemoni kelompok kaya dan negara
memiliki senjata alam mereka sendiri dalam menyelesaikan persoalan.
Dalam konteks gerakan petani, bisa dikatakan bahwa sesungguhnya gerakan
petani adalah gerakan kemanusiaan. Sebab, tanah menjadi sumber sekaligus
taruhan hidup petani. Bahkan, tanah tidak hanya sebagai simbol eksistensi diri
sebagai petani, melainkan juga simbol harga diri sebagai manusia pedesaan yang
hidup bersumber dari sektor pertanian. Karena itu, perampasan tanah bagi petani
dipandang sebagai perampasan hak hidupnya sebagai petani, sehingga siapa pun
yang mengambil tanahnya akan selalu dilawan dengan berbagai cara
Buku ini sangat membantu kalangan akademis dan masyarakat secara umum yang
ingin memperkaya khasanah pengetahuan tentang sejarah gerakan petani dan
berbagai resistensi petani di tanah air atas ketidakpuasan terhadap berbagai
kebijakan pemerintahan, khususnya mengenai gerakan reklaiming oleh petani atas
tanah yang dikuasaai negara dan swasta yang didukung negara, berdasarkan masa
di masa kolonial, orde lama, orde baru dan masa reformasi yang memiliki
karakteristik atau corak yang berbeda. Di sini penulis menggunakan metode
penjabaran wacana dengan pendekatan sejarah yang menguraikan fenomena gerakan
reklaiming petani atas tanah yang dikuasai Persero Terbatas (PTPN).
Komentar